Tampilkan postingan dengan label curhat colongan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label curhat colongan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 02 Mei 2020

Agak Sedikit Basi Kalau Sekarang Berbincang tentang Natal

Sekarang tanggal?
27 Januari 2017
Kira-kira 33 hari setelah Natal

Tapi biarlah saya berkata-kata tentang Natal. Semoga tidak banyak.

Alasan saya menulis tentang Natal. Bagi saya Natal (harusnya) bukan hanya tentang perayaan 25 Desember. (Mestinya) bukan hanya tentang budaya atau kebiasaan pada 25 Desember.

Sebelum Natal 2016, setiap ditanya "Dith, lo lebih suka Natal atau Paskah?" saya pasti menjawab, "Paskah lah!!". Tidak jarang jawaban saya menuai kernyitan dahi tapi saya tidak ambil pusing. Jawaban itu muncul karena sesungguhnya saya mulai melihat Natal hanya berkisar pada perayaan 25 Desember dan persiapannya. Atau hanya berkisar pada budaya-budaya (yang didominasi budaya barat). Atau terpaut pada lagu-lagu yang katanya lagu Natal namun setelah ditelisik liriknya, kata Natal hanya disebutkan sebagai keterangan dan yang dijual adalah romansanya. Walaupun yaa pada akhirnya saya tidak berkata bahwa Natal yang demikian itu salah. Toh tiap orang memiliki pemaknaan dan perayaan Natal masing-masing. Jadi yaa sah-sah saja kalau dirayakan demikian. 

Kembali lagi ke topik. Oleh karena penglihatan sok tahu saya, saya melihat Natal memberikan sedikit momen berefleksi dan berkontemplasi. Berbeda dengan masa Prapaskah hingga Paskah, selalu ada waktu untuk menyadari diri.

Kasihan diri saya ini. Padahal saya selalu bisa memilih beragam sudut pandang dalam memaknai Natal. Sayangnya, hanya segelintir kesempatan yang saya gunakan untuk memilah dan memilihnya.
Misalnya saat SMA, saya melihat bahwasanya Natal bukan hanya milik nasrani, tapi menjadi hak tiap orang. Kenapa? Sesederhana karena setiap orang berhak merasakan damai dan kebahagiaan.

Lalu setelahnya Natal bagi saya berlanjut hambar hingga tahun 2015 kemarin. Natal 2015 memberikan saya suatu sudut pandang bahwa Natal berarti lahirnya perdamaian dengan diri sendiri.

-------

Kalimat di atas merupakan ketikan terakhir pada 20 Februari 2017
Pada 3 Mei 2020 pukul 00.20, saya mencoba menelusuri lagi hendak ke mana tulisan ini. Syukur pada Yang Maha Memiliki Memori, saya masih ingat gambaran besarnya.

Sejak Natal 2015, entah kenapa Sang Penyentuh punya segala cara dan sarana agar saya bisa memiliki ruang dan waktu untuk berefleksi, meskipun hanya sejenak. Refleksi saya pun tertuang dalam kartu ucapan yang dibagikan secara dalam jaringan atau daring.



Berlanjut pada Natal 2016, terlintas di pikiran saya tentang Natal yang bisa jadi momen yang nggak enak buat Sang Raja. Bayangin aja, Sang Raja pasti tahu dan sadar, lahir ke dunia berarti harus siap dengan skenario wafat dengan cara paling keji. Dan meskipun tahu skenario itu, Dia tetap memilih untuk lahir. Ohya, refleksi lengkapnya ada di tangkapan layar status LINE saya.








Natal 2017. Kalimat yang terngiang-ngiang dalam pikiran saya adalah seruan Nabi Yesaya yang tercantum pada kartu di bawah ini. Kata-kata Nabi Yesaya itu mengingatkan saya pribadi sebagai manusia yang hanya berperan sebagai sarana bagi Yang Mahakuasa.



Tahun berikutnya, Natal 2018. Mengingat-ingat latar belakangnya agak berat. Refleksi ini ingin menggambarkan konsistensi kesederhaan yang diwujudkan dalam kecukupan. Merasa cukup bergantung dari definisi masing-masing pribadi manusia, menurut hemat saya. Meskipun definisi itu berbeda-beda, ada rambu bagi hasrat seorang pribadi yang menjadi pengelompok bagi kecukupan. Pengelompokan itu terdiri dari, pertama mengejar kecukupan yang didefinisikan secara pribadi. Kedua,  mendefinisikan kecukupan berdasarkan kondisi yang ada, dengan kata lain, membiarkan definisi kecukupan menghampiri. Dan ya, teladan konsistensi kesederhanaan dalam kecukupan ialah Dia yang lahirnya dirayakan pada 25 Desember.



Lalu ke Natal 2019. Refleksi pada Natal 2019 ini dipengaruhi oleh kata-kata yang diucapkan Untoro Eko S pada saya dalam salah satu tantangan hidup yang sedang saya alami. Dia mengingatkan saya untuk bersikap konsekuen. Lagi-lagi, sosok konsekuen yang patut menjadi teladan adalah Sang Raja yang lahir dan nantinya bermahkota duri.




Yak.
Namanya juga manusia bandel yak, ehe. Jika diminta memilih antara rangkaian Natal atau Paskah, saya tetap memilih Paskah.
Di luar urusan-urusan seperti yang dijabarkan di atas, ada satu hal kenapa Paskah lebih unggul dibandingkan Natal. Lagu-lagu Prapaskah (masa sebelum Paskah) bernuansa gothic dan saya suka alunan nada maupun untaian liriknya. Lagu Natal yang bernuansa gothic setahu saya hanya satu dan jadi favorit saya, Carol of The Bells. Maap yak Yang Diperingati

Baik. Demikian tulisan yang saya harap ada faedahnya.
Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur
Semoga Yang Lahir dan Bangkit melimpahkan cinta-Nya pada kita.


Salam yang masih memilih Paskah dibandingkan Natal,
M Paschalia Judith J

Minggu, 12 Mei 2019

Belajar Memasak (1)

Lupa, kapan persisnya.
Tetapi, yang jelas setelah beberapa kali aku memasak untuk kamu.

"Sekarang, masakan kamu adalah (salah satu) makanan favoritku," kata kamu.

Aku tersenyum, tersipu sambil menatap kamu. Dalam hati, aku merasa sesenang itu mendengarnya. Ternyata mendengar respon positif dari orang yang untuknya aku memasak, semenyenangkan itu. Jadi semangat masak lagi.
Terima kasih ya kamu :)
Kalau begitu, kamu mau aku memasak apa saja untuk kamu?

*****
Kalau pembaca penasaran, ini sejumlah masakan untuk yang-aku-sebut-kamu


Kue Kering Cokelat


Pudding Susu Cokelat


Nasi Liwet, Ayam Suwir, Sambal Bawang



*****

Terima kasih sudah membaca tulisan ini😁
Semoga Yang Mahakuasa dan semesta senantiasa mencurahkan berkah
Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur💞


Salam dari yang senyam-senyum dan langsung semangat memasak,
M Paschalia Judith J

Senin, 06 Mei 2019

Senin, 29 April 2019

Waktu itu sudah malam, meski belum larut. Dan hujan.
Tapi kita berdua memutuskan bertemu di sekitaran Tebet, Jakarta. Kamu berangkat dari kawasan Setiabudi, aku dari Palmerah.

Ternyata suhu tubuh kamu panas, mungkin pertanda kamu sakit

"Bukannya tadi aku udah bilang, kalau kamu capek, nggak usah ketemu juga nggak apa-apa," kataku.
"Iya badan aku mungkin capek, tapi jiwa aku maunya ketemu kamu. Gimana dong?"
"....."

*****

Terima kasih telah membaca tulisan ini😁
Semoga selalu merasakan cinta Yang Mahakuasa dan semesta
Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur💞


Salam dari yang senyam-senyum di Tebet,
M Paschalia Judith J

Makan Padang

Sabtu, 4 Mei 2019

Hai hai
Mau cerita soal obrolan pas makan Padang di Sabtu yang lalu. Bermula dari ngeliatin temen-temen jurnalis yang makan Padang pas Jumat sebelumnya. Alhasil, gue ngidam nasi Padang.
Pas Sabtu siang, gue hendak merealisasikan. Gue pun teringat adik gue punya tempat nongkrong nasi Padang favorit sejak jaman doi masih di bangku SMK. Dan ternyata dia paling demen ke Rumah Makan Padang Surya di Bendungan Hilir, Jakarta.
Ga cuma itu, gue langsung nyiapin nasi merah-hitam buat gue makan supaya ga merasa dosa-dosa amat kalau makan Padang-nya kebanyakan, ehe😜
Sip. Gue pun langsung cuss ke sana jam 13.00-an dan alhamdulillah ga sendiri :')

Ternyata, rumah makan Padang favorit adek gue ini modelnya menyajikan semua piring lauk dan sayur yang ditawarkan di atas meja makan pengunjung. Ntar kelar makan, ada mas-mas (atau mbak-mbak) yang nyamperin meja terus nyatet dan ngitungin kita makan apa aja.
[kan soalnya ada rumah makan Padang yang modelnya pengunjung nyamperin etalase lauk dan sayur yang ada di depan rumah makan terus langsung milih. Nanti mas-mas nya nyiram nasinya sama lauk dan sayur yang kita pilih duluan]

Lanjut. Semua piring dari pilihan lauk dan sayur yang tersedia pun sudah tertata di atas meja makan.
J: "Wah ini modelnya semua piring disuguhin yak. Harus hati-hati nih biar nggak laper mata."
U: "Iya, harus hati-hati."
...
U: "Untung semua yang disuguhin ini bukan masakan kamu."
J: "Hmmm, emang kenapa gitu?"
U: "Ya kalau masakan kamu sih fixed aku langsung sikat semuanya hehe"
J: 😶😶😶😶😶





Ya udah. Gitu aja. Ehe
Ohya, kalau makan di sini, per orangnya bisa sampai Rp 35.000 - Rp 50.000. Yaa jadi hati-hati aja sama dompetnya :)))
*********************************************

Terima kasih telah membaca tulisan ini😁
Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur
Semoga senantiasa menikmati berkat dan berkah dari Yang Mahakuasa dan semesta

Salam dari yang senyam-senyum di rumah makan Padang,
M Paschalia Judith J

Sabtu, 29 Desember 2018

Mencoba Merasuk (1)

Gara-gara membaca komik berjudul Beauty Pop sampai lupa kerja, terlalu banyak kesan dan rasa yang tertinggal. Yah, salah satunya perasaan saat mencoba berada di posisinya Kazuhiko Ochiai. Jadi, kutulis saja ehe
Ohiya gue tulis dari 16.35 sampai 16.52, setelah mengetik feature analisis buat kerjaan hehe

*****
Senyumannya

Kubetulkan kacamata, memastikan pandangan
Senyumnya saat mendengarkan cerita terasa beda
Tak dekat memang jaraknya, tak sadar dia kuada
Kuabadikan sunggingan tawa serta binar mata sarat makna

Sejengkal dasawarsa kemudian
Senyumnya tak pernah bosan kunikmat, kupandang
Memang tak ada jarak, sayang rasa kita tak sama
Sahabat menangkan senyumannya, selamanya


(Palmerah, 29 Desember 2018)

*****

Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur
Cinta Yang Mahakuasa dan semesta selalu beserta kita

Salam dari yang telah mencoba merasuki Kazuhiko Ochiai,
M Paschalia Judith J

Minggu, 25 November 2018

What I Write About Inner Peace in 20 Minutes

April, 21st 2015 was my EF writing test. I was late but I could finish it in 20 minutes just because the topic was interesting. Here what I wrote and the topic.


The task:
In your opinion, can talking about your problems or bad experiences help you to deal with them? Can you think of any more ways of dealing with problems or bad experiences? Write an essay explaining your opinions!


My answer:
I usually share my problems or bad experiences to my closest circle, such as my mother, my father, my brother, or my best friends. Psychologically, I am an extrovert who naturally expresses what I feel or what I am thinking about.

When I am expressing my feeling, somehow I get relieved. It is same with when I'm sharing my problems to my family or my best friends. Sometimes, I don't need their advises. I just need somebody's listening and caring me.

Many books state that sharing our problems is one step to make peace with ourselves and a way to avoid stress. When we keep the problems just for ourselves, we can get stressed and there will be no more inner peace in ourselves. If we have no inner peace in ourselves, we make ourselves drown deeper in our trouble.

However, beside sharing our problems to someones we trust, we can get inner peace by ourselves. We just need to be alone for a little time. We can pray, write everything we feel or think and simply talk to ourselves. Then, we can find our inner peace.
The matter is, the inner peace that we get. Inner peace helps us a lot to think and feel clearly. Surely, it eases us to find the way for our problems. Go find your own inner peace! 


*******
I'm really sorry that I've just finished this post today.
Please forgive me for my bad grammar there hehe

Anyway, here's the picture of my writings. I took this pict before submitting it to my teacher





Thank you for reading this post
Cheers! Be grateful always and Godspeed :D

Regards from the one who writes about inner peace for English course test,
M Paschalia Judith J
Tulisan ini diketik dalam dua kerangka waktu

**********

Sabtu, 8 April 2017
ditulis karena bosan di tengah kemacetan teralay tingkat nasional. Bayangin aja, Tol Cikarang itu ternyata menyempit lajurnya, ditambah lagi ada perbaikan jalan cqcq.. Yha mungkin ini bisa jadi bahan inspirasi topik Tugas Akhir.

Baiklah.
Setelah curcol alay tentang macet yang tengah dihadapi, gue mau menuliskan permenungan gue yang dimulai sejak tanggal 2 April 2017 (iya, H+1 wisuda gue haha)

 Tentang perempuan, cinta, dan karya :)

Ternyata bray, setelah wisuda gue merasa rutinitas gue sekosong itu. Biasanya malam-malam gue habiskan di kampus buat rapat atau nge-lab. Terus tiba-tiba aja gue bingung malam-malam sekarang mau ngapain yak.

Muncullah suatu pertanyaan secara tak diundang.
"Jangan-jangan seorang perempuan memilih untuk fokus ke karya lantaran ketiadaan cinta dari pasangannya. Bahasa singkatnya, karena kesendiriannya."

Gue pun menengok ke teman-teman gue lainnya yang sudah berpasangan. Misalkan di suatu malam yang sama. Teman gue yang berpasangan menghabiskan waktu dengan pasangannya, mungkin makan berdua atau bercengkrama atau menikmati hobi masing-masing. Di malam itu, gue sedang asyik-asyiknya rapat. Kemudian luluslah gue dari kampus. Di malam yang sama lagi, teman gue yang berpasangan  masih melakukan hal yang sama sedangkan gue bingung mau ngapain. Akhirnya gue memutuskan untuk menemani teman gue di kosan atau menghabiskan malam di kantor.


*********
Senin, 26 November 2018

/masih ingat hendak menulis apa, terima kasih Yang Mahakuasa dan semesta :)/

Oh iya, kantor yang dimaksud itu Kompas Jawa Barat karena sebelum lulus (hingga diwisuda), gue magang di sana. Lokasinya di Jalan RE Martadinata, Bandung.

Lanjut.
Kesadaran setelah lulus itu membuat gue menelusuri internet dengan kata kunci pencarian "love career woman" untuk membuktikan hipotesis gue pada saat itu.

Hipotesis gue adalah:
Perempuan yang terlihat suka bekerja sebenarnya bisa saja dilatarbelakangi oleh kesendiriannya serta kebutuhannya akan cinta dari pasangan (yang belum kunjung hadir) dan kebutuhannya akan aktualisasi diri dalam mencintai si pasangan.
Namun, karena si perempuan tampak suka bekerja, dia mendapatkan sentimen dari laki-laki sehingga laki-laki pun berpikir berkali-kali untuk mendekatinya.
Lah kalau kayak gitu kan jadi lingkaran setan yang nggak ketolongan alaynya yak.

Namun, usut punya usut di internet, gue tidak menemukan bukti terhadap hipotesis awal. Yang ada, gue malah menemukan sejumlah kisah wanita karir yang dapat menyeimbangkan waktu dan tenaganya antara keluarga dan karyanya.

Baik.
Tampaknya, sementara dapat disimpulkan, perempuan-cinta-karya itu semua tentang waktu versi-Nya saja. 
Kayak motivasi yang selalu gue dengungkan pada diri gue, "Semua indah pada waktunya. Kalau belum indah, ya berarti belum waktunya. Ehe"


Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini
Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur yaaps bunds
Semoga Yang Mahakuasa selalu memberkahi kita :D


Salam dari yang akan menemukan waktu-Nya untuk menyeimbangkan diri bagi keluarga dan karya,
M Paschalia Judith J

Jumat, 17 Maret 2017

Resonated

Lately this adorable song resonated in my mind



A look in somebody's eyes
To light up the skies
To open the world and send it reeling
A voice that says, I'll be here
And you'll be alright


At the first time, this part catch my ears by its rhythm.
I don't really like the whole song, but this part like did something different to me.


And who knows right now I'm staring at the lyrics for a long time..............................



*****

Anyway, on last wednesday, I made a cover video... Please pardon my so-so voice.



Say hi to this gorgeous pianist, Joshua :3 He's single by the way :p


*****

Sorry for the random post.
Cheers! Be grateful always and Godspeed :3

Best Regards,
The one who stares at those lyrics for a long time,
Maria Paschalia Judith Justiari

Lagi


Lagi-lagi tembok tinggi dibangun
Sekarang lebih tebal
Lebih kokoh juga, semoga
Ada pintu kecil yang cukup untuk keluar masuk satu orang
Harus, harus belajar dari pengalaman
Sudah lebih dari satu kali tembok yang dibangun hancur
Melukai yang berlindung di dalamnya
Padahal awalnya tembok itu dibangun untuk menghindarkannya dari suatu luka

Dia yang membangun
Dia juga yang dilindungi
Dia Pengembara yang tetap mengembara
Namun dalam kembaranya, dia tetap ingin melindungi dirinya sendiri
Yah, semoga tembok kali ini bisa melindunginya dari luka yang dia kutuk

*****


Mmmmm sudah lama tak menulis tentang Pengembara
Tulisan kali ini sesungguhnya mungkin bukan tulisan terbaik
Kaku diksi kalau kataku
Tapi tak apa, aku senang :)
Ohya, terima kasih juga sudah membaca tulisan ini


Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur :3
Semoga cinta Yang Mahakuasa selalu menyertai

Salam dari yang lagi-lagi membangun tembok untuk melindungi dirinya sendiri,
Maria Paschalia Judith Justiari

Senin, 20 Februari 2017

Supaya Tidak Salah Sangka

Selasa, 18 Oktober 2016





Hari ini aku mengganti bunga di meja kantorku.
Di dalam botol berisi air tiga perempat penuh.
Bunga layak hidup dari air di botol itu.
Semula bunganya berwarna merah.
Kemudian menjadi mawar putih.
Keduanya datang dari kerabatku.
Yang merah dari Iban, yang putih dari Dita.
Senang.
Ada teman bernafas di dekatku saat aku di kantor.
Ada perhatian dari kawan tersirat pada bunga.

Terima kasih kawan :')



Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur
Semoga Yang Mahakuasa selalu menyertai :)



Salam dari yang mengganti bunga dengan bahagia,
Maria Paschalia Judith Justiari

Rabu, 13 Juli 2016

Biar Saya Tidak Lupa

Rabu, 29 Juni 2016



"Awas Dith, jangan membuat Abang Gojek-nya menunggu," kata Ibuku padaku saat aku masih bersiap-siap pergi sedangkan Abang Gojek sudah di depan rumah
....... Ya, aku membuatnya menunggu.

"Neng, kalau ada waktu, kasih bintang lima ya," pinta Abang Gojek yang tadi sempat menungguku beberapa waktu saat bersiap-siap.
..... Ya, aku tampak tak memiliki waktu.



Pembelajaran. Untukku. Antara aku dan waktu.

********************************************************************************************************


Terima kasih telah membaca tulisan ini.
Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur
Semoga Yang Mahakuasa senantiasa memberkati


Salam yang menyadari suatu pembelajaran pada 29 Juni 2016,
Maria Paschalia Judith Justiari

Senin, 11 Juli 2016

Antara Film A dan Lagu I

Hola!

Sebenarnya sudah ingin menulis ini sejak lebaran hari kedua, namun tertunda. Maafkan.
Ceritanya kemarin aku ikutan mudik. Mudiknya ke Lampung dan balik ke Depok kira-kira jam 21.00 pas lebaran hari pertama. Berhubung rencana mudik ini bukan hal yang mendadak, aku sempat melakukan beberapa persiapan.

Salah satu persiapan yang aku banggakan adalah, mengunduh film dan menaruhnya di dalam memori ponsel. Uyeah, jadi aku bisa nonton film di ponsel gitu pas di kapal feri. Berkat bantuan Seto, di ponsel aku udah ada film Armageddon, 500 Days of Summer, dan X-Men: First Class.

Ternyata oh ternyata, aku baru sempat nonton pas balik dari Lampung. Tepatnya di dalam kapal feri. Untuk menyeberangi selat Sunda, dibutuhkan perjalanan sekitar 2.5 jam. Sembilan puluh menit pertama aku habiskan untuk membaca buku tentang Nietzsche, sisanya aku manfaatkan untuk menonton film.

Pertama, judul tulisan kali ini ada bocoran dalam kata 'Film A'.
Kedua, di salah satu paragraf sudah diketikkan secara gamblang, film-film yang berniat aku tonton.
Harusnya bisa mulai ditebak nih judul film yang aku tonton selama sisa waktu di kapal feri.

ARMAGEDDON
(source: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjTvfwa__fHPDMniHibcwuvIxs_sOwm5xNzAEJfBzBdMDQ5L8CtdK_V7jDcyB9v78eeSwQE6e2YMxofV-y_c4bR53ROml-W_kb-V1GDcPRQRvBw5X4UU98OEY9Kt3d-WHIocq0orgH1DxVi/s1600/armageddon_1998_580x745_848715.jpg)

Film ini sukses membuat aku meneteskan air mata selain film Toy Story 3, Crazy Little Thing Called Love, P.K, Three Idiots, Beauty and The Beast, Kung Fu Panda 2, dan Kung Fu Panda 3.
(meneteskan air mata tidak berarti menangis ya HEHE)

Maaf maaf nih bray, aku nggak bakalan cerita sinopsisnya nih film dengan kata-kata gue. Tulisan kali ini lebih ke pengalaman aku pribadi, pikiran aku pribadi, dan perasaan aku pribadi saat menonton film ini. Ditambah lagi, mungkin akan aku selami juga 'Lagu I' yang ada di judul tulisan ini berdasarkan 3 hal tadi.

Sejujurnya aku rada gampang tersentuh dengan film-film yang ada sisi keluarganya, terutama jika menyoroti hubungan seorang ayah dan anak perempuannya. Ditambah lagi, kalau dari sisi aku, aku punya hubungan yang kaku-kaku-lucu gitu dengan Bapakku. Nah, pas nonton film ini, mata aku langsung berair pas adegan Harry Stamper berpamitan dengan putrinya, Grace Stamper.


(source: https://www.youtube.com/watch?v=2H0pnL03vB0)

"Daddy?"
"Hi Gracey. Hi honey. Grace, I know I promised you I was coming home."
"I don't understand"
"Looks like I'm going to have to break that promise."
"I lied to you too. When I told you I didn't want to be like you. Because I am like you. Everything good that I have inside of me, I have from you. I love you so much daddy. And I'm so proud of you, I'm so scared. I'm so scared."
"I know it baby. But there won't be anything to be scared of soon. Gracey, I want you to know that AJ saved us. He did. I want you to tell Chick, that I couldn't have done it without him. None of it. I want you to take care of AJ. And I wish I could be there to walk you down the aisle, but I'll... I'll look in on you from time to time, okay honey? I love you Grace."
"I love you too".
"Gotta go now honey."
"Daddy, no!"


(source: http://www.imdb.com/title/tt0120591/quotes)
...................................................................................................................................................................
*me was like burst into tears*
*completely moved*

Bahkan pas nonton video di atas, mata aku basah. Huhuhuhuhu adegannya cukup ngena di aku. Selang beberapa adegan kemudian, aku teringat beberapa momen (dan mungkin kebiasaan) antara aku dan Bapak.

Bapak yang tiap dini hari memastikan aku terselimuti *kalau enggak, biasanya aku diselimuti*
Bapak yang tiap dini hari mengecek lampu kamarku sudah mati atau belum *kalau masih terang, Bapak yang mematikan lampu*
Bapak yang ingin menghabiskan banyak waktu denganku
Bapak yang tiap aku akan pergi ke Bandung subuh-subuh selalu berusaha untuk mengantarkan aku ke pool travel
Bapak yang sering mengingatkanku untuk berdoa
Bapak yang mengecam laki-laki yang membuatku menangis (ini baru pertama kejadian kok HEHE)
Bapak yang selalu tersirat memberikan nasihat dalam berorganisasi
Bapak yang pernah menghentikan rapat gara-gara aku mau dioperasi
Bapak yang selalu aku panggil "Daddy Baymax"
Bapak yang membiarkanku ditempa oleh Yang Mahakuasa dan semesta namun tetap diperhatikan.
Bapak yang mungkin sebentar lagi memergokiku begadang dan dengan nada agak tinggi memintaku segera tidur
Bapak yang sering memintaku membuatkannya kopi hitam kental tanpa gula
Bapak yang sering memintaku memanaskan air dan menuangkannya di ember untuk mandi

Bapak yang menyayangiku.


Lalu di akhir, lagu yang diawali huruf 'I' kembali berputar. Penyanyinya Aerosmith.

I Don't Wanna Miss A Thing

Mari kita mundur ke detik persis sebelum Judith menyentuh judul film Armageddon di ponsel untuk ditonton.
Di detik itu, aku masih berpikir dan merasakan bahwa lagu I Don't Wanna Miss A Thing adalah lagu roman dari seorang pria untuk pasangannya.

Maju lagi.
Setelah menonton film itu, pandanganku terhadap lagu ini meluas. Bisa jadi, lagu ini adalah lagu yang menggambarkan paduan perasaan seorang Ayah kepada anak perempuannya dan perasaan seorang pria yang ingin menjadikan anak perempuan itu pasangan hidupnya. Dalam film ini dapat disederhanakan menjadi paduan perasaan Harry Stamper dan A.J kepada Grace Stamper. Bisa dilihat di akhir film, lagu ini diputar mengiringi beberapa adegan dengan Grace Stamper sebagai sorotan utamanya. Ditambah lagi, jika aku perhatikan, poster film Armageddon terpampang 3 tokoh yakni Harry Stamper, A.J, dan Grace Stamper.

Back to the song I'm talking about, I humbly think that the whole lyrics are very related to lover generally and some of it can be related to Daddy-daughter relationship.


Tidak menutup kemungkinan loh kalau lagu Aerosmith yang satu ini dituliskan untuk hubungan-hubungan lainnya secara umum, bahkan yang melampaui batas. Tapi sekali lagi maafkan aku kalau dalam tulisanku ini hanya ingin mengaitkannya pada hubungan seorang ayah dengan putrinya.

*****

I could stay awake just to hear you breathing
Watch you smile while you are sleeping, while you're far away and dreaming

Well, meskipun kemungkinannya sangat mengawang tapi bisa jadi ada beberapa menit waktu sang Ayah untuk menengok putrinya yang sudah tidur. Dia berdiri di sisi tepi tempat tidur putrinya dan mungkin saja di saat itu, sang Ayah tersenyum memandangi putrinya yang terlelap dengan senyum di wajahnya.

I could spend my life in this sweet surrender. I could stay lost in this moment forever
Well, every moment spent with you is a moment I treasure

I don't wanna close my eyes, I don't wanna fall asleep
'Cause I'd miss you, baby and I don't wanna miss a thing

Adalah suatu kemungkinan kalau seorang Ayah tidak ingin melewatkan momen besar putrinya. Kalau di film Armageddon, Harry mengatakan ingin sekali mendampingi Grace ketika berjalan ke altar saat pernikahan Grace dengan A.J. Bahkan di saat terakhirnya, Harry Stamper mengabadikan wajah Grace, putrinya, sebagai wajah terakhir yang ia pandangi sebelum mengorbankan diri. Kalau dari pengalamanku, Bapak sangat ingin hadir di seminar proposalku kemarin namun karena ada rapat penting, Bapak tidak bisa hadir. Bahkan bisa-bisanya si Bapak curhat ke Ibu, "Itu seminarnya Judith nggak bisa diundur ya?".
Lalu aku juga tertarik dengan frasa 'sweet surrender'. Mungkin saja, ada ketulusan dan keikhlasan seorang ayah yang mati-matian banting tulang demi kebahagiaan dan kebaikan putrinya. Suatu bentuk pengorbanan, yang menurut aku pribadi, biarpun menguras keringat tetapi tak menuntut balas demi senyum bahagia,
*****

A dad is someone who is a daughter's first love (- Anonymous)

*****
Gara-gara film ini, aku menjadi mendapat suatu pandangan baru. Sepengalaman aku dan seingat aku, kebanyakan teman-temanku yang laki-laki menginginkan anak perempuan. Yha mungkin ingin mengalami bagaimana memiliki dinamika hubungan antara ayah dan anak perempuannya.


Yap sekian tulisanku yang mengulas film Armageddon dan lagu I Don't Wanna Miss A Thing. Memang tidak ada data, tidak ada kesimpulan, dan tidak bisa seenaknya dikaitkan.
Dan perlu diingat, makna sebenarnya dari film maupun lagu ini hanya si penulis lagu dan penulis cerita ini yang tahu, itupun ketika dalam proses membuatnya.
Tapi aku sudah menyelesaikannya dan tidak menyesalinya. Malah cukup menikmatinya :)


Terima kasih telah membaca tulisan ini.
Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur :)
Semoga Yang Mahakuasa senantiasa memberkati kita


Salam dari yang pandangannya dan perasaannya meluas ketika mendengar lagu I Don't Wanna Miss A Thing,
Maria Paschalia Judith Justiari

Selasa, 24 November 2015

Here We Go :)

Halo Welt!

So have been a long time since the last post.
Well, actually I want to share my minds and what I am thinking about lately.

Aku Belakangan Ini
Akhir-akhir ini ada pertanyaan yang aku ajukan kepada diri sendiri. Pertanyaan ini jujur saja berhasil membuatku merenung.
Dua pertanyaan.

"Hidup seperti apa yang ingin kamu raih, Judith?"
"Kualitas diri seperti apa yang ingin kamu capai?"

Kedua pertanyaan tersebut tidak serta-merta datang secara tiba-tiba. Dimulai karena aku merasa terlalu terbawa arus keseharian.

Kuliah, ya hanya sekadar kuliah.
Mengerjakan tugas, ya hanya sekadar supaya tugas itu selesai dan ada bahan yang dinilai oleh Dosen atau Asisten.
Ikut lomba atau seleksi, ya hanya sekadar mengejar nama besar dan pujian. Katakanlah, pengakuan dari banyak orang kalau ternyata aku berprestasi.
Parahnya, mengikuti semacam pelatihan terbuka, ya hanya mengejar sertifikat.

Lama-lama, aku merasa aneh.

Aneh aja. Bangun pagi bukannya mensyukuri hari tetapi malah ingin segera mengakhiri hari yang baru saja akan dimulai.
Tak ada semangat sama sekali. Enggan.
Karena keengganan menjalani hari itulah, aku mulai mempertanyakan diriku, mau dibawa ke mana hidupku ini.


Peristiwa Pertama di Waktu yang Nyaris Berdekatan
Minggu, 22 November 2015 seperti biasa aku ke gereja. Cukup berbeda dari hari-hari Minggu lainnya karena hari Minggu ini merupakan Perayaan Kristus Raja Semesta.

Kristus Raja Semesta.
Raja Semesta.

Lalu aku langsung mengamati diriku dan keseharianku akhir-akhir ini. Rupanya hari-hariku belakangan ini jauh dari pimpinan Yang Katanya Raja Semesta.
Jelas-jelas Dia Katanya Raja Semesta, Dith, logikanya Dia memimpin semesta, termasuk kamu. Begitu batinku.
Aku cuma diam.


Peristiwa Kedua di Waktu yang Nyaris Berdekatan
Di pagi hari menjelang siang, aku mendapatkan suatu kabar yang.......................yah cukup mengecewakan. Kabar itu pun mampu membuatku begitu merasa gagal. Belum lagi orang-orang di sekitarku yang sedang menikmati keberhasilannya dan keberhasilannya diumbar-umbar secara viral.

Gagal di tengah suasana seperti itu? Sedap.

Karena orang-orang di sekitarku sedang menikmati keberhasilannya dan kabar keberhasilan mereka terumbar di mana-mana, aku jadi berpikir, nilaiku sebagai manusia benar-benar sebatas gelar juara, gelar berhasil, atau katakanlah pengakuan. Akibatnya, aku menilai diriku yang tengah gagal ini sebagai manusia yang tak bernilai. Parahnya lagi, di detik itu aku tidak memiliki teman untuk berbagi cerita. 


Kolaborasi Peristiwa Pertama dan Peristiwa Kedua di Waktu yang Nyaris Berdekatan
Sadar. Aku benar-benar tersadarkan. Sesuatu-sesuatu yang kukejar akhir-akhir ini sangatlah duniawi. Dan sepengalaman aku, yang bersifat duniawi tidak banyak yang abadi.

Popularitas? Itu duniawi.
Pengakuan? Itu duniawi.
Sertifikat? Itu duniawi.
IP? Itu duniawi.
Gelar? Itu duniawi.
Pujian? Itu duniawi.

Hal-hal duniawi pasti dengan mudahnya berubah-ubah, tidak abadi. Paling-paling hanya bertahan dalam hitungan satuan waktu. Mengejar yang berubah-ubah dengan mudahnya pun menjadi sesuatu yang melelahkan. Tak urung menimbulkan kekosongan, semangat hidup yang kosong.


Kembali ke Beberapa Waktu Sebelum Aku Belakangan Ini
Waktu-waktu yang menyenangkan kalau boleh aku bilang. Tiap bangun pagi, selalu ada hal yang dengan cepat dan cekatan begitu mudah aku syukuri. Selalu membuka mata dengan semangat baru untuk menempa dan menantang diri dalam satu hari baru yang akan kujalani. Motivasinya pun begitu sederhana. Motivasinya apa, ya mungkin cukup Yang Mahakuasa, semesta, dan beberapa orang yang tahu. Sering juga aku menatap langit atau kuedarkan pandanganku pada semesta sambil tersenyum senang. Lelah? Lelah pasti ada dan ternyata lelah itu tidak menguasaiku.
Dan di waktu-waktu itu, aku berasa begitu hidup :)


Beranjak ke Simpulan
Mengejar hal duniawi atau hal spiritual ternyata sudah begitu tipis bedanya bagiku. Ke depannya mungkin aku perlu lebih cermat lagi mana yang sepatutnya aku raih. Mungkin tambahannya, aku perlu berlatih lagi untuk lebih tidak bergantung pada hal-hal duniawi.

Kuliah, ya tak hanya sekadar datang, tapi semakin menambah ilmu sebanyak-banyaknya, membuka mata ini akan begitu besarnya misteri semesta.
Tugas, ya tak hanya sekadar selesai, tapi aku mengerti segala yang bisa dieksplorasi lewat tugas itu.
Lomba atau seleksi, ya bukan mengejar pialanya, tapi memberikan segala yang terbaik dariku untuk bermanfaat bagi sekitar
Mengikuti pelatihan terbukan, ya bukan mengejar sertifikatnya, tapi melatih diri untuk memiliki kemampuan-kemampuan baru agar bisa semakin bermanfaat bagi sekitar.

Bagiku, hal duniawi cukup seperlunya saja untuk membantu aku meraih apa yang ingin dan akan aku capai sesungguhnya. Ya, yang ingin aku capai sesungguhnya :)


Setidaknya aku menemukan jawaban untuk dua pertanyaan di atas tadi. Sesederhana supaya aku sadar untuk memberi makna pada diriku dan hidupku. Bahwa diriku tak sekadar sosok bernama, bahwa hidupku tak sekadar lewat selintas lalu kembali menjadi debu tanpa punya cerita :)


Terima kasih sudah membaca tulisan ini.

Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur ^v^
Semoga Yang Mahakuasa selalu memberkati


Salam dari yang ingin hidupnya tak sekadar lewat lalu begitu saja,
Maria Paschalia Judith Justiari

Senin, 06 Juli 2015

Untuk Apa?

Hai!

Jadi begini. Sepengamatanku dengan diriku, entah tampaknya aku melakukan hal-hal yang tersebar. Di sana - di sini, ke sana - ke sini. Seolah tak ada integrasi. Seolah tak ada kaitannya.

Akhir-akhir ini aku berkecimpung dalam energi terbarukan (sebagai topik Kerja Praktik-ku), toleransi beragama, spiritualitas, psikologi, legislatif, pendidikan, Pancasila, masyarakat dan teknologi, politik, sastra, jurnalistik, prestasi, keluarga, moral bangsa, kuliner, masak-memasak, dan hidrologi-meteorologi.

Yah, bisa dilihat beberapa ada yang terkait, ada juga yang tak memiliki benang merah.

Tapi mana ada yang tahu.
Bahwa pada akhirnya yang terlihat tak ada kaitannya sama sekali secara menyeluruh ini ternyata terintegrasi.
Bahwa bisa jadi ada benang merah yang mengikat seluruh hal di atas tanpa terkecuali.

Supaya nantinya aku lebih dekat. Lebih dekat padanya yang membuatku bersemangat menjalani hari-hari.
Ya, 'nya' di sini merajuk pada visi hidupku yang kutujukan bukan hanya untuk diriku sendiri melainkan juga sesamaku.

:)

Terima kasih telah membaca tulisan ini.
Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur yaapps :3
Semoga Yang Mahakuasa selalu memberkati


Salam dari yang suatu saat nanti akan menemukan benang merah,
Maria Paschalia Judith Justiari

Minggu, 05 Juli 2015

Supaya Pengembara Belajar

Badai pasir tidak pernah diharapkan siapapun yang tengah di gurun
Begitu pun Pengembara

Pengembara terus-menerus menatap langit, mengharap belas Yang Diterawang
Sepenelusuran asal-asalan Pengembara, ia menangkap ingin Yang Diterawang
Mungkin Yang Diterawang ingin supaya Pengembara belajar

Belajar bertahan di tengah gurun yang notabene tidak masuk daftar favorit Pengembara.
Belajar mengambil makna hidup di tengah gurun kering menyesakkan tenggorokan yang lebih memilih menegak kesegaran hidup
Belajar bersyukur di tengah gurun yang Pengembara tidak sukai.

Satu hal. Lambat laun Pengembara sadar. Dia masih bisa tersenyum meski senyumnya tipis.
Sebegitu besar cinta Yang Diterawang pada Pengembara hingga Dia memberi kesempatan pada Pengembara untuk menjadi versi terbaiknya meskipun di tengah gurun yang membuatnya menangis sakit.

Bertahan di zona nyaman itu biasa. Bertahan dan mampu memberikan yang terbaik di luar zona nyaman? Mungkin bisa disebut luar biasa :)
Bukankah itu kesempatan indah dari Yang Diterawang untuk mengembangkan pribadi dan hidup?

Iya, Pengembara sesenang itu merasa diberi kesempatan belajar oleh Yang Diterawang.
Senangnya memang sesederhana itu :)



Terima kasih telah membaca tulisan ini.
Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur yaaaa ^v^
Semoga Yang Mahakuasa senantiasa memberkati

Salam dari Pengembara yang belajar hidup pada gurun,
Maria Paschalia Judith Justiari

Selasa, 30 Juni 2015

Untuk Makhluk yang Duduk di Hadapanku

Hai kamu, apa kabar?
Sedari tadi kamu tampak kehilangan antusiasme dalam Kerja Praktik pertamamu.

Padahal di hari pertama, kamu begitu deg-degan dan semangat.
Padahal di hari-hari sebelum hari pertama, kamu begitu berjerih demi mendapat perusahaan yang mau menerimamu untuk kerja praktik.
Padahal di minggu-minggu sebelum hari pertama, kamu berjuang dibarengi uring-uringan karena ditolak dan digantung perusahaan tempat kerja praktik. Belum lagi ditambah kabar teman-teman seangkatanmu yang sudah tenang lantaran mendapat kepastian tempat kerja praktik.
Padahal di bulan-bulan sebelum hari pertama, kamu mendoakan keberhasilan kerja praktikmu di sela-sela naik-turun dinamika organisasi yang begitu erat denganmu.

Ingat. Kerja praktik ini tidak hanya kamu perjuangkan, melainkan hadiah dari Yang Mahakuasa.
Sebaiknya, kamu tidak menyia-nyiakan nikmat dari Yang Mahakuasa.
Kamu sangat mensyukurinya, bukan?
Kalau begitu, tunjukkan bentuk syukurmu dalam antuasias, semangat, keaktifan, dan etos kerjamu.
Tanpa perlu aku perinci, kamu pasti mengerti.

Ini bisa jadi tentang zona nyaman. Namun jika kamu menunjukkan perjuanganmu sebagai rasa syukurmu, ini tak lagi tentang zona nyaman.
Percayalah, semakin semangat dan semakin aktif dirmu, kamu akan mendapatkan begitu banyak pelajaran baru untuk salah satu sisi hidupmu.
Salah satu yang dilakukan dalam Kerja Praktik


Beberapa detik yang lalu.........................................
Astaga... Lihat betapa baiknya Yang Mahakuasa padamu. Kamu dianugerahi seorang pembimbing yang baik, ramah, bersahabat, dan seorang cendekia di tempat kerja praktikmu. Bersyukurlah :''''')
Salah satu wujud nyata terima kasihmu pada Yang Mahakuasa, belajarlah sebanyak-banyaknya dari pembimbingmu. Niscaya akan bermanfaat.

Semangat! Jangan lupa bersyukur yaaa :3

Semoga Yang Mahakuasa memberkati :)

Salam dari aku yang berdiri di hadapanmu kala kamu bercermin,
Maria Paschalia Judith Justiari

Taruhlah Bulan pada Tempatnya

Senin, 29 Juni 2015

Sore ini pukul 15.00, aku meninggalkan meja yang telah menjadi temanku sejak sepekan lalu. Kami berkenalan dengan embel-embel Kerja Praktik. Enam hari sudah meja ini menyaksikan membaca total 3 laporan sambil mencatat ilmu-ilmu baru (biasanya hanya bertahan paling lama 3 jam) lalu bosan dan dilanjutkan main internet lalu pulang.

Meja ini tinggal di Sovereign Plaza lantai 12 di Jalan TB Simatupang. Untuk mempermudah dalam membayangkannya, sering aku bilang, "Di seberang serongnya Citos (Cilandak Town Square)". Biasanya langsung mudah terbayangkan.

Dekat dengan tempat tinggal meja itu ada jembatan penyeberangan. Aku melalui jembatan penyeberangan itu lalu naik Kopaja P20. Tujuanku ke Grand Indonesia. Sekadar informasi, Jalan TB Simatupang ini di Jakarta Selatan sedangkan Grand Indonesia di Jakarta Pusat.

Pejaten kemudian Warung Buncit, masih lancar. Sesampainya di Mampang dan perempatan Kuningan, macetnya terasa. Aku hanya bisa membaca buku dibarengi angin sepoi-sepoi dan berefek ketiduran barang 5 menit.

Untungnya Jalan Rasuna begitu kosong. Di seberang Plaza Festival, aku turun dan ganti kendaraan ke Kopaja 66. Kemudian aku turun di dekat Stasiun Sudirman dan berjalan kaki dari sana ke Grand Indonesia. Pukul 16.42 sampai di Grand Indonesia.

Kali ini bukan tanpa tujuan aku ke sini. Ada tiga sosok sobat dekat yang paling sering bersamaku di Bandung. Sonya, Sudib, dan Seto. Tiga orang yang bisa dibilang cukup mengenal dan memahamiku.

Kami memutuskan makan ramen, menukar Lucky Chance di KFC, ditambah sekadar duduk-duduk di Chatime.

Pulangnya aku sendiri berjalan ke Stasiun Sudirman. Satu langkah dari pintu keluar Menara BCA Grand Indonesia, spontan aku menengok ke atas, mengamati langit. Gelap, cenderung berawan, tak ada bintang, namun ada satu bulan yang bulat dan begitu terang.

Langkah demi langkah aku tapaki. Entah di langkah ke berapa, aku berhenti dan lagi-lagi menengok ke langit. Bulan itu masih bersamaku, mengikutiku meski kadang harus bersembunyi di balik gedung yang membumbung tinggi.

Aku naik Commuter Line jurusan Bogor dan turun di Stasiun UI. Keluar dari Stasiun UI, lagi-lagi bulan itu masih ada. Tubuhku di dalam angkot pun, bulan itu tidak absen sedetik pun.

Ketika berjalan kaki menuju rumahku pun, bulan itu masih di atas langit, jauh di atas serong kepalaku. Bulan dan aku sama-sama diam, tak berbicara apapun. Memang rasanya tidak sopan kalau tak menggubris sosok yang menemani perjalanan ini. Tapi rasanya aku sudah tahu pesan bulan itu. Bulan itu pun pasti sadar kalau aku memandanginya berkali-kali.

Langit, Langit selalu menjadi favoritku. Mungkin ini salah satu alasan Yang Mahakuasa menjadikanku mahasiswi meteorologi. Ya, mungkin saja.

Langit malam ini memang tak berbintang, berawan pula. Tapi seakan bulan ingin memamerkan keindahan miliknya dan milik langit. Bulan yang tegap sendiri berpendar bersanding dengan langit gelap pun tak kusangkal cantiknya. Seolah apa yang disebut terang telah disabotase dan hanya menjadi satu-satunya perhiasan bagi langit. Ya, bulan begitu cantik.

Aku paham. Tanpa bintang pun dan temaram cahaya kota, langit tetap cantik, tetap indah. Langit tetap hidup.

Satu lagi pesan yang terbersit di telingaku dari bulan. Bulan itu mungkin hanya suatu lensa. Tanpa ada logika jelas, lensa itu terhubung pada bentangan layar di benak seseorang. Seseorang yang begitu ingin menemaniku pulang, memastikan aku selamat sampai di rumah. Mungkin juga ada, meski begitu kecil tak kasat mata, harapnya pada suatu hari nanti, dia dan aku bertemu di rumah, berpelukan erat satu sama lain sambil membagi penat dan cerita selama satu hari. Kalau begitu, terima kasih pada seseorang itu yang telah mengirimkan bulan.

Ah, aku mengambil dan menyimpan pesan pertama saja. Pesan barusan tampak sebatas khayalan. Karena aku begitu tulus ikhlas dalam paham dan mengerti, bulan pada langit sungguh begitu serasi untuk menghabiskan malam bersama, tak ada bintang pun tak apa.

Kakiku pun memasuki rumah, menyapa hangat Bapak, Ibu, dan Joe. Dari jendela, aku mengintip. Dan bulan itu masih ada :)

*****

Terima kasih telah membaca tulisan ini.
Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur :)

Semoga Yang Mahakuasa senantiasa memberkati


Salam dari yang melakukan pemanasan bersama bulan untuk menulis lagi,
Maria Paschalia Judith Justiari 

Jumat, 05 Juni 2015

Mungkin Langit Menyimpan Iri

Langit iri
Ia terpaksa meneguk pahit menyiksa kalbu

Sama
Laut menyapa pantai siang malam
Langit pun disapa laut siang malam

Tapi berbeda
Laut mencumbu pantai lembut perlahan-lahan,
bahkan cumbunya kian meluap-luap saat langit kian menghitam

Mungkin
Langit menghitam karena dia iri
Siang-malam dia bersama laut
Tapi tak pernah laut mengecup atau membelainya
Tak pernah bisa, butuh sesuatu bernama sihir

Bisa jadi
Ada rasa ingin bertaut erat di antara laut dan langit
Sayang, ada pula garis tak terelakkan padahal tak nyata
Garis mendatar dari ujung ke ujung bumi
Garis yang memisahkan laut dan langit

Meski
Tidak kita ketahui ada suatu dunia tak kasat
Di sana langit dan laut puas dalam peluk satu sama lain
Melebur menjadi satu tanpa dipisahkan garis jahanam




-Pantai Santolo, 20 Mei 2015-


Terima kasih telah membaca tulisan ini
Semoga Yang Mahakuasa senantiasa memberkati :)

Semangat selalu yaapss
Jangan lupa bersyukur ^v^


Salam dari peneguk pemandangan langit siang malam,
Maria Paschalia Judith Justiari

Senin, 18 Mei 2015

Pengembara Tak Suka Gurun

Pada gurun, Pengembara tak temukan satupun pohon rindang.
Pada gurun, Pengembara bertengkar dengan dirinya sendiri di tiap langkah sepanjang perjalanannya.
Pada gurun, Pengembara muak terhadap segala dinamika hidupnya.
Pada gurun, Pengembara tak temukan makna bersyukur dan bahagia meski telah bersusah payah menyelaminya.
Pada gurun, Pengembara hanya melihat sisi negatif hidup.
Pada gurun, Pengembara terlalu dehidrasi dan tak sanggup berlari meraih pohon rindangnya.

Gurun itu adalah nama dari momen yang membuat Pengembara menyalahkan dirinya sendiri dan membenci dirinya sendiri.
Gurun itu adalah nama dari momen yang membuat Pengembara menangis menjerit dan makin menjerit karena menyadari yang mendengarkannya hanya dirinya sendiri dan Yang Diterawang.
Gurun itu makin menjadi-jadi ketika ada momen atau perkataan yang semakin membuat Pengembara membenci dirinya sendiri.

Gurun itu gurun.

Walau ada harap bagi Pengembara, bahwasanya gurun dapat menyenangkan. Bahwasanya ada momen kala Pengembara bersyukur ketika dia di gurun.
Ah ya benar.
Mungkin sudah saatnya Pengembara bersimpuh rata dengan pasir di gurun. Mengucap syukur pada Yang Diterawang, menguatkan dirinya sendiri, bahkan kalau perlu menyenangkan dirinya sendiri minimal dengan kebahagiaan semu.
Ah ya, mungkin memang itu saatnya.

Kini Pengembara bersimpuh dalam frustasi sendirian. Teriakannya keras namun gurun itu membuat segalanya hening. Harapnya tak hanya Yang Diterawang yang mendengarkan.
Tolong.


Terima kasih telah membaca tulisan ini
Meskipun Pengembara juga masih sulit melakukannya tapi izinkan Pengembara berucap, jangan lupa bersyukur.

Yang Diterawang senantiasa memberkati.



Salam dari Pengembara yang tengah sendiri di gurun,
Maria Paschalia Judith Justiari