Sabtu, 02 Mei 2020

Agak Sedikit Basi Kalau Sekarang Berbincang tentang Natal

Sekarang tanggal?
27 Januari 2017
Kira-kira 33 hari setelah Natal

Tapi biarlah saya berkata-kata tentang Natal. Semoga tidak banyak.

Alasan saya menulis tentang Natal. Bagi saya Natal (harusnya) bukan hanya tentang perayaan 25 Desember. (Mestinya) bukan hanya tentang budaya atau kebiasaan pada 25 Desember.

Sebelum Natal 2016, setiap ditanya "Dith, lo lebih suka Natal atau Paskah?" saya pasti menjawab, "Paskah lah!!". Tidak jarang jawaban saya menuai kernyitan dahi tapi saya tidak ambil pusing. Jawaban itu muncul karena sesungguhnya saya mulai melihat Natal hanya berkisar pada perayaan 25 Desember dan persiapannya. Atau hanya berkisar pada budaya-budaya (yang didominasi budaya barat). Atau terpaut pada lagu-lagu yang katanya lagu Natal namun setelah ditelisik liriknya, kata Natal hanya disebutkan sebagai keterangan dan yang dijual adalah romansanya. Walaupun yaa pada akhirnya saya tidak berkata bahwa Natal yang demikian itu salah. Toh tiap orang memiliki pemaknaan dan perayaan Natal masing-masing. Jadi yaa sah-sah saja kalau dirayakan demikian. 

Kembali lagi ke topik. Oleh karena penglihatan sok tahu saya, saya melihat Natal memberikan sedikit momen berefleksi dan berkontemplasi. Berbeda dengan masa Prapaskah hingga Paskah, selalu ada waktu untuk menyadari diri.

Kasihan diri saya ini. Padahal saya selalu bisa memilih beragam sudut pandang dalam memaknai Natal. Sayangnya, hanya segelintir kesempatan yang saya gunakan untuk memilah dan memilihnya.
Misalnya saat SMA, saya melihat bahwasanya Natal bukan hanya milik nasrani, tapi menjadi hak tiap orang. Kenapa? Sesederhana karena setiap orang berhak merasakan damai dan kebahagiaan.

Lalu setelahnya Natal bagi saya berlanjut hambar hingga tahun 2015 kemarin. Natal 2015 memberikan saya suatu sudut pandang bahwa Natal berarti lahirnya perdamaian dengan diri sendiri.

-------

Kalimat di atas merupakan ketikan terakhir pada 20 Februari 2017
Pada 3 Mei 2020 pukul 00.20, saya mencoba menelusuri lagi hendak ke mana tulisan ini. Syukur pada Yang Maha Memiliki Memori, saya masih ingat gambaran besarnya.

Sejak Natal 2015, entah kenapa Sang Penyentuh punya segala cara dan sarana agar saya bisa memiliki ruang dan waktu untuk berefleksi, meskipun hanya sejenak. Refleksi saya pun tertuang dalam kartu ucapan yang dibagikan secara dalam jaringan atau daring.



Berlanjut pada Natal 2016, terlintas di pikiran saya tentang Natal yang bisa jadi momen yang nggak enak buat Sang Raja. Bayangin aja, Sang Raja pasti tahu dan sadar, lahir ke dunia berarti harus siap dengan skenario wafat dengan cara paling keji. Dan meskipun tahu skenario itu, Dia tetap memilih untuk lahir. Ohya, refleksi lengkapnya ada di tangkapan layar status LINE saya.








Natal 2017. Kalimat yang terngiang-ngiang dalam pikiran saya adalah seruan Nabi Yesaya yang tercantum pada kartu di bawah ini. Kata-kata Nabi Yesaya itu mengingatkan saya pribadi sebagai manusia yang hanya berperan sebagai sarana bagi Yang Mahakuasa.



Tahun berikutnya, Natal 2018. Mengingat-ingat latar belakangnya agak berat. Refleksi ini ingin menggambarkan konsistensi kesederhaan yang diwujudkan dalam kecukupan. Merasa cukup bergantung dari definisi masing-masing pribadi manusia, menurut hemat saya. Meskipun definisi itu berbeda-beda, ada rambu bagi hasrat seorang pribadi yang menjadi pengelompok bagi kecukupan. Pengelompokan itu terdiri dari, pertama mengejar kecukupan yang didefinisikan secara pribadi. Kedua,  mendefinisikan kecukupan berdasarkan kondisi yang ada, dengan kata lain, membiarkan definisi kecukupan menghampiri. Dan ya, teladan konsistensi kesederhanaan dalam kecukupan ialah Dia yang lahirnya dirayakan pada 25 Desember.



Lalu ke Natal 2019. Refleksi pada Natal 2019 ini dipengaruhi oleh kata-kata yang diucapkan Untoro Eko S pada saya dalam salah satu tantangan hidup yang sedang saya alami. Dia mengingatkan saya untuk bersikap konsekuen. Lagi-lagi, sosok konsekuen yang patut menjadi teladan adalah Sang Raja yang lahir dan nantinya bermahkota duri.




Yak.
Namanya juga manusia bandel yak, ehe. Jika diminta memilih antara rangkaian Natal atau Paskah, saya tetap memilih Paskah.
Di luar urusan-urusan seperti yang dijabarkan di atas, ada satu hal kenapa Paskah lebih unggul dibandingkan Natal. Lagu-lagu Prapaskah (masa sebelum Paskah) bernuansa gothic dan saya suka alunan nada maupun untaian liriknya. Lagu Natal yang bernuansa gothic setahu saya hanya satu dan jadi favorit saya, Carol of The Bells. Maap yak Yang Diperingati

Baik. Demikian tulisan yang saya harap ada faedahnya.
Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur
Semoga Yang Lahir dan Bangkit melimpahkan cinta-Nya pada kita.


Salam yang masih memilih Paskah dibandingkan Natal,
M Paschalia Judith J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar