Tampilkan postingan dengan label bumi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bumi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 23 April 2021

Langkah demi Langkah Mengelola Sisa

Hari ke-18 di bulan keempat menjadi tanggal yang tidak aku lupakan sejak tahun lalu. Di tengah pandemi Covid-19 yang menjungkirbalikkan keseharian, aku mengambil langkah pertama untuk sebuah kebiasaan baru. Namanya memilah dan mengompos. Ada apa di tanggal itu? Komposter pertamaku mengetuk pintu hunian.

Langkah ini ternyata cukup berdampak signifikan di rumah. Pertama, sebelumnya orang-orang di rumah membuang sampah di satu keranjang dan bercampur antara yang organik dengan anorganik. Biasanya ada dua kantong plastik besar berisi sampah tercampur itu yang keluar dari hunian tiap harinya. Setelah mulai mengompos, ada si ember hitam yang menampung sisa bahan organik. Sampah anorganik tak lagi tercampur. Hanya satu kantong plastik besar per hari yang keluar dari rumah.


Foto oleh: M Paschalia Judith J
Ember hitam untuk sisa bahan organik dan keranjang untuk sisa bahan anorganik. Foto diambil pada Mei 2020



Kedua, tak hanya aku yang punya kebiasaan baru, tetapi juga penghuni rumah mulai beradaptasi memilah sisa organik dan anorganik. Pertanyaan “Ini masuk ember hitam atau keranjang?” dalam sebulan pertama kerap muncul. Pernah orangtuaku ragu memasukkan kulit kacang kering ke ember hitam. Pola pikir yang timbul ialah, ember hitam untuk bahan basah sedangkan keranjang untuk bahan kering. Aku memberikan perspektif, pembedanya adalah sifat bahan, berasal dari makhluk hidup atau bukan.

Ketiga. Kalau teman-teman sadar, aku memilih menyebut “sisa bahan organik” ketimbang “sampah organik”. Mengapa? Dalam refleksiku dan terinspirasi dari seorang perempuan pegiat urban farming, kita sebaiknya tidak cepat-cepat menyematkan kata “sampah” pada sisa bahan. Sisa bahan organik rumah tangga, dengan bantuan kita sebagai manusia, tetap berdaya guna. Bahkan, sisa bahan organik tersebut menjadi salah satu sumber kehidupan ketika dia menjadi pupuk kompos. Oleh karenanya, rasa-rasanya tak layak kalau aku menyebutnya dengan kata “sampah”.

 

Langkah berikutnya

Berangkat dari perubahan pola pikir sebagai dampak ketiga, aku merenung. Kalimat tanya “Jangan-jangan, sisa bahan anorganik pun tak bisa langsung kuhakimi sebagai sampah?” muncul. Jawabannya benar. Aku tidak bisa buru-buru menggolongkan sisa bahan anorganik sebagai sampah. Apalagi setelah membaca beragam informasi yang ada di laman Waste4Change, salah satu usaha rintisan yang bergerak di bidang waste management Indonesia.

Tak tanggung-tanggung, Waste4Change punya solusi terpadu untuk mengajak masyarakat lebih akrab dengan pengelolaan sampah secara lebih bertanggung jawab. Misalnya, kita ingin warga di perumahan terlibat aktif dalam memilah sampah dan mengurangi volume ke tempat pembuangan akhir, Waste4Change bisa memfasilitasi.

Syaratnya, seperti langkah pertamaku. Kita perlu memilah. Nah, memilah di sini perlu secara rinci. Sisa bahan anorganik ini perlu dipisahkan dari sampah medis serta sampah golongan bahan berbahaya dan beracun (B3). Sampah medis itu misalnya masker sekali pakai atau jarum suntik. Sampah B3 itu seperti barang elektronik atau bohlam lampu.

Setelah bahan anorganik tersebut bersayonara dengan sampah medis dan sampah B3, kita perlu membersihkannya. Misalnya, botol atau gelas kemasan plastik dibersihkan terlebih dahulu dan dikeringkan. Kenapa? Kalau menurutku pribadi, supaya bisa bernilai tambah untuk jadi bahan baku industri daur ulang. Oia, sebaiknya sebelum diambil oleh petugas dari Waste4Change, kita kelompokkan berdasarkan material. Kelompok bahan dari plastik berada di wadah yang berbeda dengan kelompok dari karton.


Foto oleh: M Paschalia Judith J
Memisahkan sisa bahan anorganik berdasarkan materialnya. Foto diambil pada April 2021


Mayoritas langkah-langkah di atas aku sadur dari tips personal waste management atau pengelolaan sampah secara pribadi ala Waste4Change. Karena tadi skalanya perumahan, kebiasaan-kebiasaan pribadi tadi perlu di-“copy paste” sehingga menjadi kebiasaan kolektif. Tak hanya perumahan, skala gedung perkantoran juga bisa! Prinsip dan langkah-langkahnya sama, hanya beda tempat.

Mentransformasi kebiasaan pribadi menjadi kebiasaan bersama atau kolektif memang memiliki tantangan. Untungnya, ada jalan keluar untuk setiap tantangan. Kita secara pribadi harus mengedukasi diri terlebih dahulu dengan informasi dan pengetahuan mengenai pengelolaan sampah dari sumber terpercaya. Belajar dari orang yang sudah berpengalaman juga bisa, contohnya ke kerabat yang telah menggunakan jasa Waste4Change.

Selanjutnya, kita perlu membagikan informasi dan pengetahuan yang diperoleh ke warga sekitar atau komunitas. Dalam tahap ini, kita perlu membuka ruang diskusi yang sehat karena mungkin ada sejumlah kerabat yang memiliki semangat sama dalam mengelola sisa bahan namun caranya berbeda. Sudut pandang “siap belajar hal baru tiap saat” mesti terpatri di diri kita.

Mungkin ada juga kawan yang masih bingung dan bertanya pada kita. Demi membangun kebiasaan kolektif, sebisa mungkin kita selalu hadir dan berupaya menjawab pertanyaan mereka dengan santun. Kalau kita tidak tahu bagaimana? Kita akui ketidaktahuan kita lalu langsung gerak cepat alias gercep belajar dan mencari informasi.

Oia, sebagai salah satu sumber informasi, teman-teman bisa mampir ke akun Instagram Waste4Change. Di sana tersedia beragam tips mengelola sisa bahan dari hunian. Tips dan informasinya dikemas dengan grafis yang ciamik. Selain itu, Waste4Change juga sering mengadakan acara bincang-bincang, seminar dalam jaringan, sampai IG Live yang pastinya bikin pengetahuan kita bertambah. Cuss, langsung cek yaa!!


Foto oleh: M Paschalia Judith J
Masker medis sekali pakai yang mesti diperlakukan secara khusus. Foto diambil pada April 2021



Sebagai contoh nih, pas akhir tahun lalu, aku galau soal sampah masker medis sekali pakai. Tiba-tiba, pas kepo akun Instagram-nya Waste4Change, ada infografis soal pengelolaan sampah medis. Langsung deh aku praktikkan. Teman-teman yang penasaran soal tips mengelolasampah medis ala Waste4Change bisa klik di sini.

Akhir kata, semoga tulisan kali ini bisa berfaedah buat teman-teman pembaca. Yuk kita ambil langkah pertama untuk mengelola sisa bahan dari tempat terdekat! Biarpun kecil dan pelan-pelan, yang penting kita melangkah bersama. Langkah kita juga bisa menjadi kado untuk merayakan Hari Bumi yang diperingati tiap 22 April. Yuk yuk yukkk!!

 

Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur 😊

Salam dari yang masih belajar melangkah dalam mengelola sisa bahan rumah tangga,

M Paschalia Judith J

 

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

 

Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Blog Waste4Change Sebarkan Semangat Bijak Kelola Sampah 2021

Nama penulis: Maria Paschalia Judith Justiari

Selasa, 21 Juli 2020

Pengingat Diri di Tengah Cerita Kompos

Halo teman-teman!

Jadi ceritanya, tulisan kali ini akan menjelma sebagai pengingat bagi diri sendiri dalam cerita mengompos sisa-sisa bahan organik dari tempat tinggal. 
Cerita mengompos ini pun belum selesai karena saya percaya akan ada hal baru yang dapat ditemukan dan dipraktikkan. Syaratnya, saya tak berhenti belajar, mencari tahu, dan bertanya.

Di tengah cerita mengompos yang baru mulai sejak April 2020 lalu, saya ingin membagikan sepenggal rangkuman yang semoga ada manfaatnya. Mohon digarisbawahi, saya juga masih belajar. Saya juga percaya, tiap pribadi memiliki cara dan kenyamanan masing-masing dalam mengompos. Jadi, kalau ada perbedaan, mari kita diskusikan secara sehat dan dengan pikiran terbuka.

Rangkuman ini sengaja dibuat di tengah-tengah cerita agar bisa mengingatkan diri terhadap langkah-langkah saya dalam mengompos sampah. Tak hanya langkah yang bersifat teknik maupun material, tetapi juga perasaan yang terlibat.

Dalam tulisan ini, saya mau bilang, saya selalu merasa nyaman, tenang, dan bahagia ketika mengolah sisa bahan organik di tempat tinggal untuk menjadi kompos. Proses itu seolah menjadi cermin diri saya dalam mengolah sisa-sisa rasa batin, yang kadang saya anggap sampah, tapi ternyata bisa dibentuk menjadi sesuatu yang bermanfaat.

Balik lagi ke teknik kompos, saya mencoba merangkumnya melalui video singkat di bawah ini. Selamat menonton teman-teman!





Yap, di tengah-tengah video, lagi-lagi saya dengan senang hati dan berbangga menyebut Kak Andito sebagai mentor kompos. Tulisan kali ini juga patut menjadi sarana saya mengapresiasi Kak Andito, seorang mentor dengan sudut pandang positif, semangat membara, sikap yang mau memahami orang lain, kesabaran dalam berproses, dan cintanya pada proses alam semesta. Tentu saya juga ingat rasa bangga Kak Andito menjadi seorang petani urban. Elemen-elemen pada Kak Andito tersebut membuat saya mendapatkan energi sebagai mentee untuk belajar mengompos sisa bahan organik dari tempat tinggal, bahkan memberanikan diri menjadi petani urban. Oh iya, tak bosan-bosannya saya mengingatkan teman-teman untuk berlangganan dan menonton video tutorial dari Kak Andito tentang kompos dan bertani secara urban di kanal YouTube Rumah Hijau Net (sila diklik yaa).


Terima kasih Kak Andito atas waktu dan kesediaan diri yang diberikan untuk membagikan ilmu beserta pengalamannya!
Semoga Kak Andito dan keluarga selalu sehat dan bahagia


Demikian pengingat ini dibuat

Terima kasih juga bagi para pembaca!
Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur :D

Semoga Sang Empunya Alam dan Semesta selalu melimpahkan cinta-Nya pada kita


Salam dari pribadi yang tengah belajar mengompos,
M Paschalia Judith J

Sabtu, 30 Mei 2020

Catatan Tani Halaman Pertama


Sabtu, 30 Mei 2020

Hari ini gue akan mulai menyimpan catatan aktivitas bertani (bertaninya yang sederhana aja kok, skala rumah tangga. Masih jauh jauh jauuuhh lebih hebat petani yang jadi produsen pangan kita) dari tempat tinggal  yang sebenarnya sudah sejak Januari 2020 lalu. Waktu itu bermula dari gue menanam durian di tempat tinggal (gue inget banget, itu gue nanemnya pas malem Minggu). Sebulan belakangan ini, gue menyadari diri mencurahkan lebih banyak fokus dan energi pada kegiatan yang menyenangkan ini.



Bentuk tulisannya mungkin seperti buku harian, santai dan tak formal. Isinya juga suka-suka gue aja haha

Oke.
Di hari ini, setelah bangun pagi, gue langsung memindahkan tiga bayi bawang merah gue (Crowny, Boxy, dan Bangwa), bayi sereh, dan bayi kurma ke tempat yang terkena sinar matahari langsung. Sereh dan kurmanya belum tumbuh sepenuhnya jadi belum dikasih nama hehe.

Yang gue inget adalah, gue menanam Crowny, Boxy, dan Bangwa pada malam Takbiran, yakni Sabtu, 24 Mei 2020. Maafkan, gue lupa kapan menanam sereh (dua batang) dan kurma (enam biji), yang jelas setelah malam Takbiran itu.

Habis itu, seperti biasa gue makan buah naga. Bapak juga minta buah naga. Alhasil, ada dua sumber buah naga buat jadi bahan eco-enzyme. Sip, begitu selesai makan, gue membuat dua botol eco-enzyme berbahan baku kulit buah naga.

Agak siangan, gue membuat pupuk cair berbahan baku nasi basi. Nasi basinya sudah gue diamkan sejak Senin, 26 Mei 2020. Lumayan, bisa dapet dua botol. Ohya, bikinnya sambil dengerin seminar dalam jaringan tentang investasi haha
Karena ibundo habis ngupas kulit bawang, gue langsung bikin pupuk cair lagi sebanyak satu botol. Namanya pupuk cair kulit bawang.

Foto oleh M Paschalia Judith J
Pupuk cair berbahan baku nasi basi


Foto oleh M Paschalia Judith J
Pupuk cair berbahan baku kupasan kulit bawang


Sekitar jam 19.00, gue menanam lemon (sembilan biji), sereh (tiga batang), buah naga, dan bawang merah (satu umbi, namanya BlueDucky). Tanah dan media tanamnya udah gue jemur pas siang-siang. Sebelum ditanam, tanahnya gue siram dulu biar agak lembab tapi tak basah (loh? bingung ga?). Oh ya menanam ini berarti jadi aktivitas malam mingguan gue ehe

Alhamdulillah, satu jam kemudian, ibundo cuci beras. Alhasil, air cucian beras itu tertampung buat jadi santapan lezat bagi bayi bawang merah, sereh, kurma, buah naga, durian, dan lemon. Porsinya beda-beda. Selain durian dan buah naga, bayi-bayi tanaman awak mendapatkan satu centong. Buat bayi durian 3,5 centong dan bayi buah naga 2 centong.

Gue pikir kegiatan bertani gue di malam Minggu udah kelar. Pas ke dapur, ternyata ada kulit pepaya yang masih segar karena baru dikupas. Baiklah, langsung gue sikat dan jadikan eco-enzyme kulit pepaya. Berarti di hari Sabtu ini, gue bikin tiga botol eco-enzyme dan tiga pupuk cair, secara total.
Sungguh, botol-botol ini akan bermakna buat bayi-bayi tanaman yang sedang bertumbuh di tempat tinggal orangtua gue :')

Foto oleh M Paschalia Judith J
Persiapan membuat satu botol eco-enzyme berbahan baku kulit pepaya. Tentu saja, lontong di piring tidak termasuk.


Demikian halaman pertama catatan tani gue.
Beberapa bagian akan gue tulis rinci, kayak membuat pupuk cair nasi basi atau pupuk cair kulit bawang. Tapi, gue nunggu dulu hasilnya kayak gimana, soalnya dua pupuk cair itu masih berproses hehe.


Terima kasih sudah membaca catatan ini
Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur

Semoga Sang Pencipta dan semesta melimpahkan cinta dan rahmat-Nya untuk kita semua


Salam dari yang baru memulai catatan bertani,
M Paschalia Judith J

Dua Dapur

Sejak tanggal 18 April 2020 lalu, ada dua dapur di tempat tinggal orangtua saya. Pertama, tentunya ruang dapur yang digunakan untuk memasak makanan dan minuman bagi penghuni.

Dapur kedua adalah komposter, tempat untuk memasak pupuk kompos, baik padat maupun cair. Pupuk kompos ini akan menjadi makanan dan minuman pula bagi tanaman-tanaman yang sedang bertumbuh di rumah.

Foto oleh M Paschalia Judith J
Komposter hasil karya Kak Andito


Karena sampah organik dihasilkan tiap hari, ada kalanya komposter tak cukup menampung. Ya sudah, pada 24 Mei 2020, saya mencoba menghadirkan dapur baru bagi sampah organik. Namanya kompospot. Prinsipnya tetap mengompos, namun di dalam pot.

Foto oleh M Paschalia Judith J
Kompospot di tempat tinggal saya yang dibuat dengan menonton tutorial dari Kak Andito


Ohya teman-teman bisa mengecek YouTube Rumah-Hijau.Net untuk video tutorial membuat kompospot (klik di sini) bersama Kak Andito, mentor saya. Di kanal YouTube ini juga banyak tutorial seputar kompos yang bisa dipelajari dari tempat tinggal kita.

Daann, mari kita berkenalan dengan koki utama di dapur komposter maupun kompospot! TADAAA!!

Foto oleh M Paschalia Judith J
Belatung sebagai koki utama yang memasak di komposter dan kompospot





Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur
Semoga Yang Mahakuasa dan Semesta senantiasa menuangkan cinta dan rahmat-Nya dalam kehidupan kita

Salam dari yang menambah dapur di tempat tinggal,
M Paschalia Judith J

Minggu, 17 Mei 2020

Langkah Kedua tentang Sampah di Tempat Tinggal

Halo lagi bunda-bundi pembaca!

Mau melanjutkan tulisan sebelumnya yang berjudul "Sekali Mendayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui" Ala Sampah.

Apa langkah kedua untuk memisahkan sampah organik dan anorganik dari tempat tinggal kita?
Menyediakan tempat sampah yang berbeda. Artinya, dari kegiatan awal membuang sampah, kita langsung memisahkan antara sampah yang organik dan anorganik. Yap, membuang sampah mesti kita lakukan secara sadar dan penuh perhatian.

Kalau aku pribadi, di rumah Bapak-Ibu, aku menyediakan dua tempat sampah di dekat dapur. Ember hitam untuk menampung sampah organik dan keranjang dengan plastik untuk sampah anorganik.

Foto oleh M Paschalia Judith J
Sampah rumah tangga di tempat tinggal orangtua M Paschalia Judith J


Lalu, apa langkah pertamanya?
Mencari tahu perbedaan dan jenis sampah organik dan anorganik sehingga kita bisa memilah dan memisahkannya. Misalnya di foto di bawah ini. Aku mau membuang sampah sisa tulang ayam yang tidak aku makan maka aku membuangnya ke ember hitam. Nah, kalau dilihat-lihat ember hitam yang aku foto berisi ampas kelapa parut, daun sayur yang tak bisa dimasak, kulit buah, cangkang telur, kulit bawang, dan kawan-kawannya.

Foto oleh: M Paschalia Judith J
Memasukkan sisa potongan sayur ke ember sampah organik



Sekian catatan hari ini, semoga bisa bermanfaat untuk bunda-bundi pembaca semuanya.
Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur
Semoga Sang Pencipta dan semesta selalu menganugerahkan cinta dan bimbingan-Nya.


Salam dari yang belajar untuk sadar dalam membuang sampah,
M Paschalia Judith J

Sabtu, 16 Mei 2020

"Sekali Mendayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui" Ala Sampah

Halo!
Sebagian besar dari kita tahu kalau kata-kata di dalam tanda kutip merupakan peribahasa yang bermakna, ada sejumlah keuntungan yang didapatkan dari satu perkejaan. Sampah, khususnya yang bersifat organik, menjadi wujud nyata dari peribahasa ini dengan bantuan dari kita, manusia. Wujudnya pun dapat dialami oleh panca indra kita.

Memilah dan memisahkan sampah yang bersifat organik dari tempat tinggal kita menjadi langkah dasarnya. Sampah rumah tangga yang bersifat organik, sepengalaman saya, berupa sisa potongan sayur atau buah, tulang dari daging hewan, duri ikan, sisa potongan tempe atau tahu yang tak termasak, dan teman-temannya.

Sampah rumah tangga organik ini, jika diolah secara tepat dan penuh perhatian, dapat menjadi pupuk kompos. Untuk apa pupuk kompos ini? Tentunya bisa menjadi nutrisi bagi tanaman atau tumbuhan yang ada di dekat tempat tinggal kita. Ini manfaat pertama.

Kedua (dan mungkin bergulir hingga yang ketiga dan seterusnya).
Jadi begini bunds. Indonesia itu sesungguhnya masih impor sampah. Sampah plastik dan sampah kertas, salah satunya. Nggak percaya? Impor sampah ini legal loh, ada aturannya di Peraturan Menteri Perdagangan atau Permendag Nomor 92 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah Non-bahan Berbahaya dan Beracun sebagai Bahan Baku Industri.
Tetapi, impor ini ada solusinya. Pelaku industri yang berkaitan langsung bilang, sampah plastik dan sampah kertas (juga mungkin limbah lainnya) yang ada di Indonesia dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri asalkan...


Tangkapan layar dari artikel yang saya tulis dengan tautan:
https://kompas.id/baca/ekonomi/2020/01/11/revisi-aturan-impor-indikasikan-kurangnya-koordinasi-lintas-kementerian/



Yak, benar. Limbah plastik dan limbah kertas itu kudu terpilah kalau mau jadi bahan baku industri untuk diproses atau dibentuk menjadi produk baru. Sebisa mungkin nggak tercampur oleh sampah organik. Kenapa? Limbah yang buat bahan baku industri ini sebisa mungkin mesti bersifat kering bunds. Di sisi lain, sampah organik sifatnya basah.
Yaa bayangin aja, industri pasti mesti menyediakan uang tambahan dongski kalau harus mengolah bahan baku berupa limbah yang tercampur. Sederhananya, industri sulit menjadikan limbah plastik dan limbah kertas, yang misalnya tercampur potongan sayur atau buah yang sudah membusuk, untuk jadi bahan baku.
Nah, kalau kita sebagai bagian dari masyarakat, minimal sudah membantu memilah dan memisahkan sampah dari tempat tinggal, bisa jadi memberikan rentetan dampak (yang semoga positif) hingga mengurangi impor limbah.
Makanya, di atas disebutkan manfaat kedua, ketiga, dan seterusnya dari memilah dan memisahkan sampah organik yang berujung pada pengolahannya. Proses pengolahan sampah organik terkenal dengan nama mengompos.

Daaannnn
Karena aku pribadi orangnya paling suka (juga paling sangkil dan mangkus) belajar sambil praktik langsung, aku memutuskan untuk ikut memilah, memisahkan, dan mengolah sampah organik dari tempat tinggal.
Tanggal 18 April 2020 menjadi hari yang cukup perlu diingat karena mentor dan guru saya, Kak Andito, dengan segala perjuangannya membuat dan membawakan komposter ini. Kak Andito ini juga membagikan ilmunya lewat YouTube (namanya Rumah Hijau Net) dan Instagramnya lohhh. Langsung klik aja bundss!!
Terima kasih yaa Kak Andito, maaf kalau saya terlalu cerewet kalau jadi murid hehe.




Semoga tulisan ini juga memberikan manfaat pada bunda-bundi sekalian.
Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur
Semoga Yang Mahakuasa dan Semesta selalu melimpahkan cinta dan tuntunan-Nya pada kita semua

Salam dari yang mulai memilah, memisahkan, dan mengolah sampah organik,
M Paschalia Judith J