Tampilkan postingan dengan label penyegaran jiwa raga dan pikiran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penyegaran jiwa raga dan pikiran. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 02 Mei 2020

Agak Sedikit Basi Kalau Sekarang Berbincang tentang Natal

Sekarang tanggal?
27 Januari 2017
Kira-kira 33 hari setelah Natal

Tapi biarlah saya berkata-kata tentang Natal. Semoga tidak banyak.

Alasan saya menulis tentang Natal. Bagi saya Natal (harusnya) bukan hanya tentang perayaan 25 Desember. (Mestinya) bukan hanya tentang budaya atau kebiasaan pada 25 Desember.

Sebelum Natal 2016, setiap ditanya "Dith, lo lebih suka Natal atau Paskah?" saya pasti menjawab, "Paskah lah!!". Tidak jarang jawaban saya menuai kernyitan dahi tapi saya tidak ambil pusing. Jawaban itu muncul karena sesungguhnya saya mulai melihat Natal hanya berkisar pada perayaan 25 Desember dan persiapannya. Atau hanya berkisar pada budaya-budaya (yang didominasi budaya barat). Atau terpaut pada lagu-lagu yang katanya lagu Natal namun setelah ditelisik liriknya, kata Natal hanya disebutkan sebagai keterangan dan yang dijual adalah romansanya. Walaupun yaa pada akhirnya saya tidak berkata bahwa Natal yang demikian itu salah. Toh tiap orang memiliki pemaknaan dan perayaan Natal masing-masing. Jadi yaa sah-sah saja kalau dirayakan demikian. 

Kembali lagi ke topik. Oleh karena penglihatan sok tahu saya, saya melihat Natal memberikan sedikit momen berefleksi dan berkontemplasi. Berbeda dengan masa Prapaskah hingga Paskah, selalu ada waktu untuk menyadari diri.

Kasihan diri saya ini. Padahal saya selalu bisa memilih beragam sudut pandang dalam memaknai Natal. Sayangnya, hanya segelintir kesempatan yang saya gunakan untuk memilah dan memilihnya.
Misalnya saat SMA, saya melihat bahwasanya Natal bukan hanya milik nasrani, tapi menjadi hak tiap orang. Kenapa? Sesederhana karena setiap orang berhak merasakan damai dan kebahagiaan.

Lalu setelahnya Natal bagi saya berlanjut hambar hingga tahun 2015 kemarin. Natal 2015 memberikan saya suatu sudut pandang bahwa Natal berarti lahirnya perdamaian dengan diri sendiri.

-------

Kalimat di atas merupakan ketikan terakhir pada 20 Februari 2017
Pada 3 Mei 2020 pukul 00.20, saya mencoba menelusuri lagi hendak ke mana tulisan ini. Syukur pada Yang Maha Memiliki Memori, saya masih ingat gambaran besarnya.

Sejak Natal 2015, entah kenapa Sang Penyentuh punya segala cara dan sarana agar saya bisa memiliki ruang dan waktu untuk berefleksi, meskipun hanya sejenak. Refleksi saya pun tertuang dalam kartu ucapan yang dibagikan secara dalam jaringan atau daring.



Berlanjut pada Natal 2016, terlintas di pikiran saya tentang Natal yang bisa jadi momen yang nggak enak buat Sang Raja. Bayangin aja, Sang Raja pasti tahu dan sadar, lahir ke dunia berarti harus siap dengan skenario wafat dengan cara paling keji. Dan meskipun tahu skenario itu, Dia tetap memilih untuk lahir. Ohya, refleksi lengkapnya ada di tangkapan layar status LINE saya.








Natal 2017. Kalimat yang terngiang-ngiang dalam pikiran saya adalah seruan Nabi Yesaya yang tercantum pada kartu di bawah ini. Kata-kata Nabi Yesaya itu mengingatkan saya pribadi sebagai manusia yang hanya berperan sebagai sarana bagi Yang Mahakuasa.



Tahun berikutnya, Natal 2018. Mengingat-ingat latar belakangnya agak berat. Refleksi ini ingin menggambarkan konsistensi kesederhaan yang diwujudkan dalam kecukupan. Merasa cukup bergantung dari definisi masing-masing pribadi manusia, menurut hemat saya. Meskipun definisi itu berbeda-beda, ada rambu bagi hasrat seorang pribadi yang menjadi pengelompok bagi kecukupan. Pengelompokan itu terdiri dari, pertama mengejar kecukupan yang didefinisikan secara pribadi. Kedua,  mendefinisikan kecukupan berdasarkan kondisi yang ada, dengan kata lain, membiarkan definisi kecukupan menghampiri. Dan ya, teladan konsistensi kesederhanaan dalam kecukupan ialah Dia yang lahirnya dirayakan pada 25 Desember.



Lalu ke Natal 2019. Refleksi pada Natal 2019 ini dipengaruhi oleh kata-kata yang diucapkan Untoro Eko S pada saya dalam salah satu tantangan hidup yang sedang saya alami. Dia mengingatkan saya untuk bersikap konsekuen. Lagi-lagi, sosok konsekuen yang patut menjadi teladan adalah Sang Raja yang lahir dan nantinya bermahkota duri.




Yak.
Namanya juga manusia bandel yak, ehe. Jika diminta memilih antara rangkaian Natal atau Paskah, saya tetap memilih Paskah.
Di luar urusan-urusan seperti yang dijabarkan di atas, ada satu hal kenapa Paskah lebih unggul dibandingkan Natal. Lagu-lagu Prapaskah (masa sebelum Paskah) bernuansa gothic dan saya suka alunan nada maupun untaian liriknya. Lagu Natal yang bernuansa gothic setahu saya hanya satu dan jadi favorit saya, Carol of The Bells. Maap yak Yang Diperingati

Baik. Demikian tulisan yang saya harap ada faedahnya.
Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur
Semoga Yang Lahir dan Bangkit melimpahkan cinta-Nya pada kita.


Salam yang masih memilih Paskah dibandingkan Natal,
M Paschalia Judith J

Senin, 20 Februari 2017

Supaya Tidak Salah Sangka

Selasa, 18 Oktober 2016





Hari ini aku mengganti bunga di meja kantorku.
Di dalam botol berisi air tiga perempat penuh.
Bunga layak hidup dari air di botol itu.
Semula bunganya berwarna merah.
Kemudian menjadi mawar putih.
Keduanya datang dari kerabatku.
Yang merah dari Iban, yang putih dari Dita.
Senang.
Ada teman bernafas di dekatku saat aku di kantor.
Ada perhatian dari kawan tersirat pada bunga.

Terima kasih kawan :')



Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur
Semoga Yang Mahakuasa selalu menyertai :)



Salam dari yang mengganti bunga dengan bahagia,
Maria Paschalia Judith Justiari

Minggu, 13 November 2016

Asoy Geboy Membaca dengan PaDi

Halo Pembaca!

pem-ba-ca
mem-ba-ca
ba-ca

Dulu pas masih sekolah, membaca adalah salah satu kegiatan yang bikin aku betah berlama-lama. Biasanya aku berkutat pada buku-buku fiksi, buku tentang pendidikan, terus…. *berusaha mengingat-ingat* *apa daya, sudah begitu lama*

Lah kenapa begitu lama? Soalnya pas kuliah aku sejarang itu membaca buku (selain buku referensi kuliah loh ya). Alasan jujurnya sih gara-gara aku kurang bisa menyediakan waktu untuk membaca. Tapi pas tingkat tiga, gerah juga rasanya kalau diri ini tidak diisi pengetahuan atau minimal kesegaran fiksi dari buku. Mulailah aku menggandrungi buku-buku elektronik. Bahkan saking niatnya, beberapa ada yang aku cetak.

Di tingkat empat, membaca akhirnya kembali lagi menjadi kegemaranku. Buku-bukuku tambah beragam. Judul-judul non-fiksi  yang nggak ada hubungannya sama kuliahku pun kulahap pelan-pelan.

Waktu luang pun bisa saja tiba-tiba aku isi dengan membaca. Biar waktu luangnya berfaedah hehehe.. Kayak waktu itu, di suatu sore yang teduh (nggak panas, tapi nggak hujan), aku baru sadar kalau aku punya waktu kosong sekitar 1 jam. Sayangnya aku lagi nggak bawa buku apapun. Udah gitu, aku lagi nggak di daerah kampus jadi nggak bisa nangkring di perpustakaan. Lalu aku berpikir sejenak. Aha! Kayaknya iseng-iseng pergi ke Plasa Telkom yang ada di jalan WR Supratman bakalan asoy geboy nehh.

Seiseng itu, Dith?
Sebenarnya sudah diniatkan seminggu sebelumnya, tepatnya setelah berselancar di internet dan menemukan yang namanya PaDi atau Pustaka Digital. PaDi ini salah satu inovasi terbarunya Telkom dalam mewujudkan semacam perpustakaan digital.

Cukup dengan angkot Caheum-Ledeng, aku sudah sampai di depan Plasa Telkom. Sesampainya di sana, ada mbak-mbak ramah yang menyapaku dan menanyakan keperluanku. Langsung aku jawab kalau aku ingin tahu soal PaDi. Mbak-mbak ini mengantarku ke depan layar komputer dan voila! Aku pun bisa membaca buku-buku elektronik yang ada di PaDi.

(sumber gambar: dokumentasi pribadi)
Swafoto di angkot hehehe

(sumber gambar: dokumentasi pribadi)
Kyaaaa angkot Caheum-Ledeng kyaaaa

(sumber gambar: dokumentasi pribadi)
Sampai juga di Plasa Telkom

(sumber gambar: dokumentasi pribadi)
Tampilan PaDi di layar komputer 

 (sumber gambar: dokumentasi pribadi)
Pilihan buku untuk dibaca secara daring

 (sumber gambar: dokumentasi pribadi)
Akhirnya memilih untuk membaca Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana
Sebenarnya karena ingin nostalgia bacaan pas SMA :3

(sumber gambar: dokumentasi pribadi)
Mulai membaca~~~

Tidak terasa, waktu luangku menipis. Kalau mau lanjut membaca, apakah aku harus ke sini lagi? Hmmmm, aku langsung menanyakannya ke mbak-mbak ramah yang tadi menyambutku. Dia menjelaskan kalau aku bisa mengakses PaDi dengan mengunduh aplikasi Qbaca di ponselku. Mantap jiwaa!!!!!

(sumber gambar: dokumentasi pribadi)
Swafoto wajah bahagia setelah mencoba-coba PaDi di Plasa Telkom 

(sumber gambar: dokumentasi pribadi)
Plasa Telkom dari seberang jalan. Saatnya kembali ke aktivitas!


Sebelum mengenal PaDi, aku selalu meluangkan waktu beberapa menit sebelum tidur untuk membaca. Fleksibel, bisa buku cetak atau buku elektronik. Berkat adanya PaDi, aku semakin memiliki pasokan buku-buku elektronik yang siap aku baca kapan saja dan di mana saja! Senangnyaaa :'''')

Semoga kemudahan akses buku bacaan dari PaDi membuat kita semakin memiliki kebiasaan membaca. Saatnya kita semakin rajin membuka jendela wawasan kita dengan membaca buku :)

*****

Terima kasih telah membaca tulisan ini.
Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur


Salam dari yang terkagum-kagum sama PaDi,
Maria Paschalia Judith Justiari

Rabu, 13 Juli 2016

Biar Saya Tidak Lupa

Rabu, 29 Juni 2016



"Awas Dith, jangan membuat Abang Gojek-nya menunggu," kata Ibuku padaku saat aku masih bersiap-siap pergi sedangkan Abang Gojek sudah di depan rumah
....... Ya, aku membuatnya menunggu.

"Neng, kalau ada waktu, kasih bintang lima ya," pinta Abang Gojek yang tadi sempat menungguku beberapa waktu saat bersiap-siap.
..... Ya, aku tampak tak memiliki waktu.



Pembelajaran. Untukku. Antara aku dan waktu.

********************************************************************************************************


Terima kasih telah membaca tulisan ini.
Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur
Semoga Yang Mahakuasa senantiasa memberkati


Salam yang menyadari suatu pembelajaran pada 29 Juni 2016,
Maria Paschalia Judith Justiari

Senin, 11 Juli 2016

Antara Film A dan Lagu I

Hola!

Sebenarnya sudah ingin menulis ini sejak lebaran hari kedua, namun tertunda. Maafkan.
Ceritanya kemarin aku ikutan mudik. Mudiknya ke Lampung dan balik ke Depok kira-kira jam 21.00 pas lebaran hari pertama. Berhubung rencana mudik ini bukan hal yang mendadak, aku sempat melakukan beberapa persiapan.

Salah satu persiapan yang aku banggakan adalah, mengunduh film dan menaruhnya di dalam memori ponsel. Uyeah, jadi aku bisa nonton film di ponsel gitu pas di kapal feri. Berkat bantuan Seto, di ponsel aku udah ada film Armageddon, 500 Days of Summer, dan X-Men: First Class.

Ternyata oh ternyata, aku baru sempat nonton pas balik dari Lampung. Tepatnya di dalam kapal feri. Untuk menyeberangi selat Sunda, dibutuhkan perjalanan sekitar 2.5 jam. Sembilan puluh menit pertama aku habiskan untuk membaca buku tentang Nietzsche, sisanya aku manfaatkan untuk menonton film.

Pertama, judul tulisan kali ini ada bocoran dalam kata 'Film A'.
Kedua, di salah satu paragraf sudah diketikkan secara gamblang, film-film yang berniat aku tonton.
Harusnya bisa mulai ditebak nih judul film yang aku tonton selama sisa waktu di kapal feri.

ARMAGEDDON
(source: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjTvfwa__fHPDMniHibcwuvIxs_sOwm5xNzAEJfBzBdMDQ5L8CtdK_V7jDcyB9v78eeSwQE6e2YMxofV-y_c4bR53ROml-W_kb-V1GDcPRQRvBw5X4UU98OEY9Kt3d-WHIocq0orgH1DxVi/s1600/armageddon_1998_580x745_848715.jpg)

Film ini sukses membuat aku meneteskan air mata selain film Toy Story 3, Crazy Little Thing Called Love, P.K, Three Idiots, Beauty and The Beast, Kung Fu Panda 2, dan Kung Fu Panda 3.
(meneteskan air mata tidak berarti menangis ya HEHE)

Maaf maaf nih bray, aku nggak bakalan cerita sinopsisnya nih film dengan kata-kata gue. Tulisan kali ini lebih ke pengalaman aku pribadi, pikiran aku pribadi, dan perasaan aku pribadi saat menonton film ini. Ditambah lagi, mungkin akan aku selami juga 'Lagu I' yang ada di judul tulisan ini berdasarkan 3 hal tadi.

Sejujurnya aku rada gampang tersentuh dengan film-film yang ada sisi keluarganya, terutama jika menyoroti hubungan seorang ayah dan anak perempuannya. Ditambah lagi, kalau dari sisi aku, aku punya hubungan yang kaku-kaku-lucu gitu dengan Bapakku. Nah, pas nonton film ini, mata aku langsung berair pas adegan Harry Stamper berpamitan dengan putrinya, Grace Stamper.


(source: https://www.youtube.com/watch?v=2H0pnL03vB0)

"Daddy?"
"Hi Gracey. Hi honey. Grace, I know I promised you I was coming home."
"I don't understand"
"Looks like I'm going to have to break that promise."
"I lied to you too. When I told you I didn't want to be like you. Because I am like you. Everything good that I have inside of me, I have from you. I love you so much daddy. And I'm so proud of you, I'm so scared. I'm so scared."
"I know it baby. But there won't be anything to be scared of soon. Gracey, I want you to know that AJ saved us. He did. I want you to tell Chick, that I couldn't have done it without him. None of it. I want you to take care of AJ. And I wish I could be there to walk you down the aisle, but I'll... I'll look in on you from time to time, okay honey? I love you Grace."
"I love you too".
"Gotta go now honey."
"Daddy, no!"


(source: http://www.imdb.com/title/tt0120591/quotes)
...................................................................................................................................................................
*me was like burst into tears*
*completely moved*

Bahkan pas nonton video di atas, mata aku basah. Huhuhuhuhu adegannya cukup ngena di aku. Selang beberapa adegan kemudian, aku teringat beberapa momen (dan mungkin kebiasaan) antara aku dan Bapak.

Bapak yang tiap dini hari memastikan aku terselimuti *kalau enggak, biasanya aku diselimuti*
Bapak yang tiap dini hari mengecek lampu kamarku sudah mati atau belum *kalau masih terang, Bapak yang mematikan lampu*
Bapak yang ingin menghabiskan banyak waktu denganku
Bapak yang tiap aku akan pergi ke Bandung subuh-subuh selalu berusaha untuk mengantarkan aku ke pool travel
Bapak yang sering mengingatkanku untuk berdoa
Bapak yang mengecam laki-laki yang membuatku menangis (ini baru pertama kejadian kok HEHE)
Bapak yang selalu tersirat memberikan nasihat dalam berorganisasi
Bapak yang pernah menghentikan rapat gara-gara aku mau dioperasi
Bapak yang selalu aku panggil "Daddy Baymax"
Bapak yang membiarkanku ditempa oleh Yang Mahakuasa dan semesta namun tetap diperhatikan.
Bapak yang mungkin sebentar lagi memergokiku begadang dan dengan nada agak tinggi memintaku segera tidur
Bapak yang sering memintaku membuatkannya kopi hitam kental tanpa gula
Bapak yang sering memintaku memanaskan air dan menuangkannya di ember untuk mandi

Bapak yang menyayangiku.


Lalu di akhir, lagu yang diawali huruf 'I' kembali berputar. Penyanyinya Aerosmith.

I Don't Wanna Miss A Thing

Mari kita mundur ke detik persis sebelum Judith menyentuh judul film Armageddon di ponsel untuk ditonton.
Di detik itu, aku masih berpikir dan merasakan bahwa lagu I Don't Wanna Miss A Thing adalah lagu roman dari seorang pria untuk pasangannya.

Maju lagi.
Setelah menonton film itu, pandanganku terhadap lagu ini meluas. Bisa jadi, lagu ini adalah lagu yang menggambarkan paduan perasaan seorang Ayah kepada anak perempuannya dan perasaan seorang pria yang ingin menjadikan anak perempuan itu pasangan hidupnya. Dalam film ini dapat disederhanakan menjadi paduan perasaan Harry Stamper dan A.J kepada Grace Stamper. Bisa dilihat di akhir film, lagu ini diputar mengiringi beberapa adegan dengan Grace Stamper sebagai sorotan utamanya. Ditambah lagi, jika aku perhatikan, poster film Armageddon terpampang 3 tokoh yakni Harry Stamper, A.J, dan Grace Stamper.

Back to the song I'm talking about, I humbly think that the whole lyrics are very related to lover generally and some of it can be related to Daddy-daughter relationship.


Tidak menutup kemungkinan loh kalau lagu Aerosmith yang satu ini dituliskan untuk hubungan-hubungan lainnya secara umum, bahkan yang melampaui batas. Tapi sekali lagi maafkan aku kalau dalam tulisanku ini hanya ingin mengaitkannya pada hubungan seorang ayah dengan putrinya.

*****

I could stay awake just to hear you breathing
Watch you smile while you are sleeping, while you're far away and dreaming

Well, meskipun kemungkinannya sangat mengawang tapi bisa jadi ada beberapa menit waktu sang Ayah untuk menengok putrinya yang sudah tidur. Dia berdiri di sisi tepi tempat tidur putrinya dan mungkin saja di saat itu, sang Ayah tersenyum memandangi putrinya yang terlelap dengan senyum di wajahnya.

I could spend my life in this sweet surrender. I could stay lost in this moment forever
Well, every moment spent with you is a moment I treasure

I don't wanna close my eyes, I don't wanna fall asleep
'Cause I'd miss you, baby and I don't wanna miss a thing

Adalah suatu kemungkinan kalau seorang Ayah tidak ingin melewatkan momen besar putrinya. Kalau di film Armageddon, Harry mengatakan ingin sekali mendampingi Grace ketika berjalan ke altar saat pernikahan Grace dengan A.J. Bahkan di saat terakhirnya, Harry Stamper mengabadikan wajah Grace, putrinya, sebagai wajah terakhir yang ia pandangi sebelum mengorbankan diri. Kalau dari pengalamanku, Bapak sangat ingin hadir di seminar proposalku kemarin namun karena ada rapat penting, Bapak tidak bisa hadir. Bahkan bisa-bisanya si Bapak curhat ke Ibu, "Itu seminarnya Judith nggak bisa diundur ya?".
Lalu aku juga tertarik dengan frasa 'sweet surrender'. Mungkin saja, ada ketulusan dan keikhlasan seorang ayah yang mati-matian banting tulang demi kebahagiaan dan kebaikan putrinya. Suatu bentuk pengorbanan, yang menurut aku pribadi, biarpun menguras keringat tetapi tak menuntut balas demi senyum bahagia,
*****

A dad is someone who is a daughter's first love (- Anonymous)

*****
Gara-gara film ini, aku menjadi mendapat suatu pandangan baru. Sepengalaman aku dan seingat aku, kebanyakan teman-temanku yang laki-laki menginginkan anak perempuan. Yha mungkin ingin mengalami bagaimana memiliki dinamika hubungan antara ayah dan anak perempuannya.


Yap sekian tulisanku yang mengulas film Armageddon dan lagu I Don't Wanna Miss A Thing. Memang tidak ada data, tidak ada kesimpulan, dan tidak bisa seenaknya dikaitkan.
Dan perlu diingat, makna sebenarnya dari film maupun lagu ini hanya si penulis lagu dan penulis cerita ini yang tahu, itupun ketika dalam proses membuatnya.
Tapi aku sudah menyelesaikannya dan tidak menyesalinya. Malah cukup menikmatinya :)


Terima kasih telah membaca tulisan ini.
Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur :)
Semoga Yang Mahakuasa senantiasa memberkati kita


Salam dari yang pandangannya dan perasaannya meluas ketika mendengar lagu I Don't Wanna Miss A Thing,
Maria Paschalia Judith Justiari

Selasa, 07 Juli 2015

Dilema Kerja Praktik Hari ke-10

Hola hola!

Hari ini tanggal 8 Juli 2015 (((OH EM JI, AI BARU INGET SEPUPU KESAYANGAN AI ULANG TAON. UNTUNG LIAT POJOK KANAN BAWAH LAPTOP)))

Yha selain hari ini ulang tahun sepupu gue, hari ini juga udah Kerja Praktik (KP) hari ke-13. Dan entah kenapa, gue ingin membagikan dilema gue (ceilah) pada KP hari ke-10.

Jurnal Kerja Praktik ala Judith
- Kerja Praktik Hari ke-10  ||  Jumat, 3 Juli 2015 -

Hari ini gue memilih untuk pulang cepat. Super cepat, tepatnya (jam 11 siang sudah meninggalkan kantor). Seperti biasanya, gue menaiki jembatan penyeberangan untuk bertemu dengan Koantas Bima nomor 509.

Karena gue pulang super cepat, gue pun tak terkena balada macet pulang kantor ala Jakarta #somuchyeay. Keuntungan lainnya, gue dapet tempat duduk di Koantas Bima #doubleyeay

Agak ngangtuk memang tapi gue memilih untuk tetap terjaga sambil melihat-lihat jalanan (Judith selalu menikmati jalan dan perjalanan). Sampai di perempatan Cilandak, Koantas Bima ini ngetem sejenak. Di sinilah peristiwa dilematis ini muncul.

Seorang bapak-bapak berbaju merah-hitam masuk ke dalam bus kecil ini dan berdiri di dekat pintu. Beliau membawa gitar lalu mengepaskan senar-senar gitarnya. Semuanya masih tampak biasa, seperti musisi jalanan pada umumnya.

Jreng.
Bapak berbaju merah-hitam itu hanya menggenjrengkan satu kunci nada dengan mantap sebagai pembuka. Yah, masih biasa saja. Gue pun dengan sotoy dan kesoktahuan gue bergumam dalam hati,
"Ini paling kata-katanya sama kayak pengamen yang lain: 'Selamat siang Bapak-Ibu sekalian. Di siang yang terik ini izinkan saya yang mengalami kerasnya Jakarta memberika satu-dua lagu untuk menemani Bapak-Ibu. Daripada kami mencopet lebih baik kami mengamen. Seribu-dua ribu dari Bapak-Ibu tidak akan mengurangi kekayaan malahan menjadi sumber rezeki kami. Selamat mendengarkan.' Ya kalo engga pun yaa ga jauh-jauh dari situ lah."

*Dith, kok hapal?*
* #JudithSahabatKopaja #JudithSahabatKoantasBima #JudithSahabatMetroMini *

Ternyata.............
Ternyata.............
Ternyata gue beneran sok tahu.. Bapak-bapak itu membetulkan kacamatanya lalu berkata dengan suara berat, "Selamat siang Bapak, Ibu, Mbak, Mas, Adik, Kakak. Izinkan saya mengamen sebentar. Mohon maaf apabila menganggu Bapak-Ibu sekalian. Kalau tidak berkenan diganggu, tidak didengarkan pun tak apa. Saya juga mohon maaf apabila saya mengamen kurang menyenangkan hati Bapak-Ibu. Kalau boleh cerita, semalam saya tidak tidur. Ada urusan yang membuat saya terjaga. Yak, selamat menikmati lagu dari saya."

Gue terdiam. Walaupun tangan gue memasukkan ponsel ke kantong celana gue (biar aman), mata gue tetap fokus mengarah ke Bapak-bapak yang bernyanyi dan memainkan gitar. Merdu, enak banget didengar. Genjrengan gitar yang mantap dipadukan dengan suara bulat beliau. Bapak itu memainkan tembang lawas yang cukup familiar. Apabila gue perhatikan lekat-lekat, beliau memang terlihat menyembunyikan lelah namun wajahnya tampak menghayati lagu. Berkali-kali beliau bernyanyi memejamkan mata. Bukan, bukan karena beliau kurang tidur. Gue yakin itu karena beliau begitu menikmati dan bersatu dengan lagu yang dimainkan.

Seselesainya dia mengamen, dia mengedarkan kantung penopang penghasilannya. Begitu dia bertatapan dengan gue.....
"Pak, terima kasih yaaa," kata gue sambil tersenyum.
"Terima kasih juga yaa, Mbak," balasnya juga sambil tersenyum.
Lalu dia pun turun dari Koantas Bima.

Dan lalu gue merenung. Sejujurnya gue merasakan bahwa bapak tadi mengajarkan totalitas pada gue. Andaikata gue di posisi dia dengan kondisi kebutuhan ekonomi, beban pikiran yang sampai bikin begadang, lelah fisik, dan lainnya, mungkin gue cuma bisa ngamen setengah hati. Tapi bapak-bapak ini engga begitu. Biarpun kondisinya seperti itu, dia masih memberikan yang maksimal dari dirinya. Bahkan dia sempat minta maaf kalau nanti niatan dirinya, yakni ingin memberikan yang terbaik dari dirinya, tidak tersampaikan kepada kami yang mendengarkannya.

Banyak pandangan dilematis terhadap pengamen.
Ada yang menyebutnya tidak mau berusaha keras,
ada yang menyamakannya dengan peminta-minta,
ada yang berpikir nantinya uang hasil ngamen tersebut disetor ke seorang preman,
ada yang setuju kalau 1000-2000 tidak mengurangi kekayaan,
ada yang berbelas kasih,
ada yang berusaha membayangkan kerasnya hidup pengamen.

Katakanlah gue naif dan sok polos. Buat gue pribadi, ada beberapa pengamen yang tidak berbeda dari musisi papan atas, hanya beda panggung - satu di jalan, satu di panggung gegap gempita. Pengamen-pengamen ini adalah musisi yang menggunakan talentanya semaksimal mungkin, meski hanya di jalanan.

Sama seperti bapak berbaju merah-hitam tadi :'''''''''''''''''''''''')


Bapak-bapak Sumber Dilema sekaligus Sumber Inspirasi :')



Gitar yang menemani si Bapak Sumber Inspirasi
Iya, sampai ditempeli kertas bertuliskan "Ini Bolong Lho"


Terima kasih, Pak, untuk pembelajaran hidupnya. Mari berdoa semoga bapak berbaju merah-hitam tadi semakin diberi rezeki yang halal dari Yang Mahakuasa. Ke depannya, gue berharap bisa lebih bijak lagi ketika berhadapan dengan pengamen dan tentunya gue semakin mampu jadi pribadi yang memiliki totalitas. Semoga.. :')


Terima kasih telah membaca tulisan ini
Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur :D
Semoga Yang Mahakuasa senantiasa memberkati


Salam dari yang dilema dan terinspirasi pada KP hari ke-10,
Maria Paschalia Judith Justiari

Jumat, 05 Juni 2015

Mungkin Langit Menyimpan Iri

Langit iri
Ia terpaksa meneguk pahit menyiksa kalbu

Sama
Laut menyapa pantai siang malam
Langit pun disapa laut siang malam

Tapi berbeda
Laut mencumbu pantai lembut perlahan-lahan,
bahkan cumbunya kian meluap-luap saat langit kian menghitam

Mungkin
Langit menghitam karena dia iri
Siang-malam dia bersama laut
Tapi tak pernah laut mengecup atau membelainya
Tak pernah bisa, butuh sesuatu bernama sihir

Bisa jadi
Ada rasa ingin bertaut erat di antara laut dan langit
Sayang, ada pula garis tak terelakkan padahal tak nyata
Garis mendatar dari ujung ke ujung bumi
Garis yang memisahkan laut dan langit

Meski
Tidak kita ketahui ada suatu dunia tak kasat
Di sana langit dan laut puas dalam peluk satu sama lain
Melebur menjadi satu tanpa dipisahkan garis jahanam




-Pantai Santolo, 20 Mei 2015-


Terima kasih telah membaca tulisan ini
Semoga Yang Mahakuasa senantiasa memberkati :)

Semangat selalu yaapss
Jangan lupa bersyukur ^v^


Salam dari peneguk pemandangan langit siang malam,
Maria Paschalia Judith Justiari

Rabu, 29 April 2015

Sepenggal Celoteh Pengembara

“Neng, ini kayaknya sepatu udah jelek banget. Beneran mau dibenerin aja, Neng? Nggak mau beli baru?”
“Enggak, Mang. Dibetulin aja.”
“Saya jadi heran, Neng. Kenapa ya banyak anak seumuran Eneng malah nyimpen sepatu yang kayaknya udah jelek banget, bahkan masih kekeuh buat benerin sepatu yang rusak. Eneng sendiri kenapa?”
“Karena sepatu ini udah nemenin saya ke mana-mana, Mang, hehehe”

*****

Aku berani mengecap diriku sebagai Bocah Petualang Terakreditasi A. Begitu banyak bentuk petualangan yang aku cicipi. Dari yang alam banget yang mall banget. Dari perjalanan ke Mall Kelapa Gading sampai perjalanan ke Mahameru. Begitu beragam dan begitu aku syukuri.

Dari kecil aku memang tidak bisa duduk diam. Jika di rumah tidak ada yang aku kerjakan, sontak aku mengambil ransel serta mengenakan kaos, celana panjang jeans, kaos kaki, dan sepatu keds bertali. Lalu aku berpamitan dan melenggang keluar rumah. Kadang ada tujuan tertentu, kadang tanpa tujuan.

Dari yang alam banget sampai yang mall banget. Dari perjalanan ke Mall Kelapa Gading sampai perjalanan ke Mahameru. Begitu beragam dan begitu aku syukuri. Dari perjalanan yang terdokumentasikan oleh kamera sampai yang teringat jelas dalam benak tanpa dipotret kamera.


Dari yang alam banget
Agustus 2014 aku memutuskan untuk mendaki Semeru hingga Mahameru. Mahameru sendiri mengajarkanku untuk menjadi pribadi yang tangguh dan mampu melawan keterbatasan fisik dalam suatu totalitas.


 Meraih puncak Mahameru adalah kesulitan dan tantangan luar biasa bagiku. Namun aku tak membiarkan diriku dihipnotis kata menyerah.
Bukankah sama ketika aku berjuang meraih puncak-puncak kehidupanku, kata menyerah tak boleh mampir dalam hidupku?


Tiap setahun sekali, aku melakukan tea walking bersama keluarga. Bagiku merupakan suatu yang berharga berjalan sekitar 3 km sampai 5 km untuk menikmati udara segar dan pemandangan indah buatan Yang Mahakuasa.


20 Juli 2014.
Tea-walk sejauh 4 km ini memuaskan raga akan pesona harmoni antara awan putih, langit biru, dan tentunya hijau kebun teh

Akhir tahun pun aku memilih untuk pergi ke dataran tinggi di Pegunungan Tengger untuk mengabadikan pesona matahari terbit yang terakhir di tahun 2014. Matahari terbit telah menjadi sumber semangat tersendiri bagiku untuk menjalani hari di tahun 2004.

Kepada matahari di ufuk timur, ingatkan aku selalu untuk terbit sebagai suatu jalan keluar 

Dataran tinggi pun punya pesona tersendiri untuk memberi kesegaran pada raga, pikiran, dan perasaan milikku. Memiliki waktu untuk berhenti sejenak memandangi pesona tersebut merupakan waktu yang sungguh tidak sia-sia untuk dinikmati.
Negeri atas awan di Kediri, suatu surga yang malu-malu untuk memamerkan pesonanya

Bicara kesegaran, air yang mengalir tumpah ruah dengan derasnya pun tak terelakkan menjadi sumber kesegaran itu tersendiri. Tapi namanya juga kesegaran yang lain daripada yang lain, perlu perjuangan untuk menikmati kesegaran itu. Perjalanan ke air terjun mengajarkanku bahwa segala yang indah membutuhkan perjuangan. Bahwa untuk meraih segala yang aku sebut keberhasilan pasti membutuhkan perjuangan.

Air Terjun Dolo, Kediri
Air Terjun Malela, Jawa Barat.
Melangkahkan kaki ke sana bukanlah perjalanan yang mudah. Namun begitu bertemu dengan air terjun ini, seluruh penat dan lelah tak lagi hinggap dalam diri raga ini.


Sampai ke yang mall banget
Bisa jadi bagi orang lain perjalanan ke mall di seputaran Jakarta merupakan suatu kemewahan. Bagiku biasa saja. Aku lebih memilih pergi ke mall dengan angkutan umum. Kenapa? Karena aku begitu ingin menikmati dinamika berbagai lapisan masyarakat yang berinteraksi dalam angkutan umum. Adalah sudut pandang yang menyegarkan kala aku mengamati bagaimana dinamika interaksi tersebut dibanding hanya duduk diam dalam kendaraan pribadi atau taksi.

Senja pusat kota Jakarta dari sudut pandang Grand Indonesia


Pulang dari Grand Indonesia, aku pergi ke sini untuk naik Commuter Line jurusan Depok
Tak kusangka-sangka, sekarang Stasiun Sudirman sekeren ini.
Pernahkah kita menghargainya?


Kadang kala, aku tak sempat mengambil potret untuk suatu momen hanya karena aku terlarut dalam yang disajikan oleh perjalananku.

Semisal ketika aku bertualang dengan angkutan umum, entah bus (Kopaja, Metromini, Mayasari, dkk) atau kereta (kereta api ekonomi jaman baheula).
Aku membiarkan telingaku menikmati alunan lagu yang didendangkan pengamen-pengamen sepanjang perjalanan. Dari suara mereka, aku mengasah kepekaanku pada realita hidup yang mesti diperjuangkan. Dari suara mereka pula aku belajar yang namanya ketegaran hidup. Tak jarang lirik yang mereka senandungkan berisi protes atas ketidakadilan bahkan berisi keprasahan harap akan kesejahteraan.

Aku membiarkan mataku merekam segala aktivitas yang lewat di hadapanku. Pernah aku memperhatikan seorang ibu berpakaian lusuh berjongkok di hadapanku dan membersihkan kereta ekonomi tempat aku berada. Aku hanya membisu dan terhenyak. Dia berlalu dari hadapanku dan membersihkan gerbong lainnya. Dia tak mengenakan baju seragam resmi jadi bisa aku pastikan dia hanya menanti uluran kasih yang memberikannya sedikit uang sebagai penopang hidupnya. Saking tak bisa berkata apa-apa aku hanya bisa diam memandanginya.

Pernah juga mataku merekam seorang anak kecil yang asyik bermain ponsel di dalam angkutan umum. Dia duduk di hadapanku dan tanpa sengaja memaksaku mengingat-ingat apakah di umur yang sama aku pernah seasyik itu bermain ponsel. Rasa-rasanya tidak. Yah, jaman memang telah berubah. Mungkin karena begitu herannya tanganku sampai sempat merogoh tas dan memotret apa yang ada di hadapanku.

Gadis kecil yang tengah begitu asyik dengan ponselnya

*****

Segala perjalanan itu aku ingat dan kujadikan suatu bahan pelajaran hidup.
Ketika aku melangkahkan kakiku keluar rumah sama saja aku menapaki langkah pertama untuk mengenal diri lebih jauh.
Karena dengan berpergian keluar rumah, aku memahami betapa indah karya Yang Mahakuasa , betapa agung Yang Mahakuasa, dan betapa Yang Mahakuasa mencintaiku.
Karena dengan berpergian keluar rumah, aku membuka diri pada segala macam sudut pandang yang dunia miliki. Aku pun lebih terbuka dengan pelbagai macam dinamika yang ditawarkan dunia ini.
Karena dengan berpergian keluar rumah, aku dapat menjadi pribadi yang lebih bersyukur, memiliki empati, bahkan termotivasi untuk berkarya lebih bagi kebaikan sekitarku.
Karena dengan berpergian keluar rumah, aku menemukan keeping-keping dari diriku.

 Setelah mengalami berbagai macam perjalanan, aku sepakat dengan kutipan ini


Terima kasih telah membaca tulisan ini.
Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur :)

Ps:
Sepatu yang menjadi bahan perbincangan di atas



Salam, dari Pengembara hidup ini dengan segala petualangannya,

Maria Paschalia Judith Justiari.

#BetterOutside
#BetterOutsideID
@BetterOutsideID

Sabtu, 14 Maret 2015

Sekelebat Memori tentang Pemilu

Maret! Maret selalu menjadi bulan favorit saya selama ini. Entah kenapa peristiwa-peristiwa di bulan Maret selalu membawa saya pada suatu refleksi yang terus terngiang-ngiang dalam relung benak saya.

Maret tahun ini pun telah memulai aksinya dalam menambah peristiwa-peristiwa semacam itu. Tanggal 13 Maret 2015, saya tengah duduk di Sekretariat KMK ITB – medan magnet terbesar bagi saya selama saya di ITB. Mata saya tertuju pada kertas berwarna cokelat tertempel di kaca.

‘Pendaftaran ketua KMK tinggal 4 hari lagi…’

Saya tersenyum. Sebentar lagi periode Badan Pengurus KMK ITB 2014/2015 berakhir. Tanpa sengaja saya mengingat masa Pemilu Ketua KMK ITB tahun lalu. Bagi saya, masa itu membuat saya merasa dicintai dan dipercaya lalu cinta dan kepercayaan tersebut menjadi bensin bagi saya untuk berjuang.

Di masa Pemilu yang saya lalui tahun lalu ada hal yang membuat saya merasa pusing tujuh keliling. Bukan perihal visi-misi, bukan perihal kampanye, bukan perihal program kerja, bukan perihal organigram.

MOTIVASI.

Inilah yang membuat saya pusing karena tak kunjung saya temukan pada masa itu. Apa motivasi saya mencalonkan diri menjadi ketua KMK ITB? Apa yang mendasari keinginan saya?

Saya akan menceritakan secara jujur dan terbuka mengenai masa-masa pengumpulan berkas calon ketua KMK ITB. Berkas pendaftaran calon ketua KMK ITB bukan saya yang mengambil. Saya mengisi berkas pendafataran milik sobat saya yang kini menjadi salah satu Kepala Bidang. Dari lima promotor, ada yang asalnya mau mencalonkan diri menjadi ketua KMK ITB namun akhirnya malah menawarkan diri untuk menjadi promotor saya. Lembar dukungan pun saya banyak sekali dibantu masa KMK ITB. Beberapa dari masa KMK ITB membawa dan menemani saya ke sana kemari untuk memenuhi lembar dukungan walaupun mereka bukan promotor maupun tim sukses saya. Mengumpulkan keseluruhan berkas pun pada pukul 17.58 padahal tenggat waktunya pukul 18.00. Bahkan, saya baru menyadari ternyata saya mencalonkan diri menjadi ketua KMK ITB ketika pengumuman calon ketua yang lolos verifikasi berkas.

Setidak tahu itu saya pada motivasi saya mencalonkan diri menjadi ketua KMK ITB. Akibatnya, saya terus-menerus mencari motivasi saya sampai menghabiskan waktu setengah masa kampanye.

Bagi saya, motivasi ini sungguh menjadi penting ketika saya melayani KMK ITB sebagai ketua. Saya yakin, mungkin ada waktu saya akan jatuh ketika melayani KMK ITB ini. Ketika saat tersebut datang pada saya, saya tidak mau melarikan diri dari tanggung jawab. Saya sadar saya hanya cukup bergantung pada Yang Mahakuasa dan diri saya sendiri untuk bangkit dan melanjutkan perjuangan pelayanan saya. Bagi saya, cara paling mudah untuk membangkitkan diri saya sendiri adalah menggaungkan motivasi saya menjadi ketua KMK ITB.

Akhirnya pada satu titik di tengah masa kampanye, saya berhenti bertanya-tanya apa yang menjadi motivasi saya. Ya, saya berhenti mencari motivasi saya. Di titik itu pula saya memutuskan untuk membuka diri selebar-lebarnya kepada kepemimpinan Yang Mahakuasa dalam melakukan segala hal yang terbaik untuk KMK ITB.

Bulan demi bulan berlalu. Di tengah saya menjadi ketua KMK ITB, saya benar-benar mengalami masa jatuh. Tak disangka-sangka, justru di saat itulah akhirnya saya menyadari motivasi saya. Ternyata ini semua karena saya begitu menyayangi KMK ITB dan karena saya begitu mensyukuri cinta Yang Mahakuasa pada saya.

Begitu saya menyadari motivasi ini, saya langsung mengabadikannya. Sampai detik ini pun, motivasi tersebut terus menyala dalam keseluruhan diri saya. Motivasi inilah yang membuat saya selalu berjuang lebih dan lebih.



Agar setiap bangun pagi dan sebelum tidur, saya menyegarkan setiap bagian diri saya untuk berintegrasi dan berjuang mewujudkan visi, misi, dan janji dalam suatu motivasi teguh.



Visi saya selalu terpatri dalam diri saya.
Kalau tak sengaja bertemu saya, tanyakan saja apa visi yang saya bawa untuk KMK ITB. Dengan senang hati, saya akan menjawab dengan yakin, "KMK ITB sebagai paguyuban yang saling terbuka untuk bergerak bersama." 



Janji yang saya ucapkan di dalam Misa Kudus. Janji yang saya buat dengan Yang Mahakuasa dan KMK ITB.
Tak lupa, motivasi yang mendasari saya berjuang lebih dan lebih dalam melayani KMK ITB.
Semoga motivasi ini pun membuat saya menepati janji ini.


Kini, masa Pemilu KMK ITB untuk ketua periode 2015/2016 tengah berlangsung. Saya memutuskan untuk membuka diri lebih lebar lagi di masa Pemilu ini, terutama bagi mereka yang membuka dirinya untuk menjadi panitia pelaksana, calon ketua, promotor, tim sukses, Badan Pengurus, dan masa KMK yang mengkritisi, memberi saran, masukan, bahkan sekadar curhat perihal KMK ITB. Dari keterbukaan saya selama di masa Pemilu yang berlangsung ini, saya tersentuh dengan ketulusan mereka untuk berjuang lebih bagi KMK ITB. Meskipun ketulusan itu tidak mereka sadari. Entah kenapa saya merasa suatu kondisi penuh cinta dalam KMK ITB ini (intermezzo: penuh cinta adalah tagline yang saya gaungkan ketika saya menjadi Kepala Departemen Doa dan Liturgi periode 2013/2014).

Sikap saya untuk membuka diri lebih lebar lagi dalam masa Pemilu ini karena saya ingin ketua KMK ITB berikutnya lebih baik dari saya, kalau perlu jauh lebih baik dari saya. Harapan saya sederhana, KMK ITB semakin maju dan berkembang lebih baik lagi. Semuanya ini karena motivasi saya - karena saya begitu meyayangi KMK ITB.

Bagi saya pribadi, setiap orang terlahir sebagai pemimpin yakni pemimpin bagi dirinya sendiri. Kita hanya perlu membuka diri dalam memimpin diri sendiri untuk memimpin orang lain.

Jujur saja, menjadi ketua KMK ITB adalah salah satu momen yang paling membahagiakan bagi saya. Semoga kita tidak lagi takut dalam memimpin karena memimpin adalah tentang cinta, bukan ketakutan. Jadilah pemimpin dan syukurilah cinta dari Yang Mahakuasa dan semesta.

“Awal keterbukaan dimulai ketika mata bertaut. Saat mata bertaut, bibir dan tulisan bergerak berkata-kata hingga dua pikiran atau lebih saling bertemu dan berkolaborasi. Setelah ada kolaborasi pikiran satu sama lain, ada rasa ingin sering saling bertemu. Di saat itulah ada keterikatan yang mengakar hingga ada kenyamanan antar satu sama lain.” – Maria Paschalia Judith Justiari
#eyes2eyes #mind2mind #heart2heart


Semangat selalu yaps gaess!!
Jangan lupa bersyukur yaa everibadeh ^v^



Salam,
Maria Paschalia Judith Justiari
12812006
Anggota biasa KMK ITB
Anggota biasa HMME “Atmosphaira” ITB

Anggota biasa KPA ITB