Jumat, 08 Juli 2011

Distorsi

Nah loooh, skarang gua balik lagi loohh hayoo hayoo
*teruskenapa

Selama ini gue nggak membuang distorsi gue ke dunia melalui sambungan internet. Sudah tidak lagi. Sudah tidak lagi. Pokoknya sudah tidak lagi.
(paling dikit doang ke twitter. Dikit doang tapi. Beneran dikit kok) -______-"

Ah ya, kenapa gue sebut distorsi.
Mbak Nita, sepupu-gue-yang-dari-jaman-gue-TK-sampai-sebabon-ini-paling-hobi-ngecengin-gue-karena-kenikmatannya, merupakan mahasiswi Sastra Indonesia UPI Bandung.
Pada suatu ketika dia berucap seperti ini pada gue.
"Dith, lo ngga ikut-ikutan galau?"
"Kagak, mbak. Eh tergantung deh,"
"Huh, pantes aja,"
"Emang kenapa?"
"Galau kan DISTORSI yang menyenangkan, Dith,"
di saat itu, yang gue tau cuma TORSI. Catat saudara-saudara! TORSI.
Dengan memutar otak sedikit ke kanan ke kiri dan tetap menjaga keseimbangannya sehingga TORSI sama dengan 0, gue berpikir.
"Ada hubungannya sama benda tegar nggak, Mbak?" *gubrak Akhirnya keluar juga noh pelajaran fisika yang bikin gua uring-uringan untuk melanjutkan ke tahap berikutnya dalam menemukan definisi DISTORSI.
"Auk ah, nggak kenal torsi. Gua kan anak IPS hohoho," dia meledekku seolah tahu aku tak bisa berdamai dengan torsi.
"Distorsi itu semacam gangguan, Dith," lanjutnya lagi.

Catat lagi saudara-saudara, DISTORSI itu semacam gangguan!
Kita masukkan dalam rumus kalimat

Galau = Distorsi yang Menyenangkan
karena Distorsi = Gangguan maka
Galau = Gangguan yang Meyenangkan

buat gue, galau itu sama sekali tidak menyenangkan! Jadi, langsung gue sebut distorsi.
Nggak salah kan? Nggak salah kan?
Pokoknya gue nyebutnya DISTORSI.

Distorsi itu milik semua orang. Semua orang merasakannya tanpa terkecuali, entah tua-muda, umur 16, 17, dan 18, perempuan dan laki-laki, bapak-ibu, kakak-adik, kawan-lawan, kalem-blingsatan. Anak kecil mengalami distorsi yang kasat oleh mata misalnya luka di lututnya karena jatuh saat main layangan. Untuk anak yang mulai beranjak dewasa, distorsi tak lagi ditangkap secara visual namun mental dan emosi. Apalagi kalau bukan masalah?
Jika kita tidak mengalami distorsi, bagaimana bisa mendapatkan suatu kenyamanan dan pelajaran? Distorsi itu sama sekali tidak mengenakkan. Menangis, murung, melamun, kehilangan arah, berasa tak ada nyawa, nyawa, merendahkan diri, berteriak,  ya distorsi pasti mengakibatkan itu semua.


Gue sendiri mengalami distorsi. Menurut gue kapasitasnya sama dengan teman-teman gue yang lainnya. Yap, distorsi itu tidak memerlukan ukuran kuantitas melainkan kualitas. Jadi untuk urusan kapasitas, gue rasa semua orang mendapat kapasitas yang sama.
Di sini gue bilang distorsi karena galau buat gue tidak menyenangkan. Apalagi galau artinya kacau. Gue ngga mau bilang gue galau, karena gue bukan tipikal yang memandang diri gue udah kacau banget dan susah dibetulkan.
Secara logika, secara kulitnya saja, mana ada orang yang betah mengalami gangguan. Tidak betah berarti tidak menyenangkan.
Sering banget gue mengalami distorsi. Pelampiasan paling besar pada tisu di rumah, ANW (laptop kesayangan), P1i-ku (ponsel yang paling mengerti diriku), buku distorsi (semacam diary), dan doa. Sisanya cerita ke sana- ke mari tapi nggak pernah selengkap pelampiasan pada yang disebut tadi. Yang menjadi saksi bisunya juga ada - ada pojokan kamar dan genteng.

Bahkan ada posisi favorit dan menurut gue nyaman banget buat melepaskan distorsi. Duduk bersandar, menekuk lutut, mendekap kaki ke badan dengan melingkarkan tangan erat-erat, lalu menyandarkan kepala pada kedua lutut yang berdempet.
Posisi ini diakui adalah posisi spontan secara harafiah dan lahiriah oleh seorang Romo (atau Pastor) di Pondok Retreat Pratista.
"Posisi duduk bersandar dengan lutut ditekuk dan kepala diletakkan di atas lutut adalah posisi selama kita berada di kandungan, di rahim seorang ibu. Posisi seperti itu akan spontan kita lakukan jika kita mencari kenyamanan. Toh terbukti 'kan kita nyaman dengan posisi itu selama berbulan-bulan dalam rahim ibu," begitu tutur beliau.
Saat gue mendengar lontaran kalimat itu, gue masih kelas 9. Kalau kalian ingin membuktikannya, coba saja di rumah. Tenang, adegan ini tidak berbahaya.


Lanjut lagi tentang distorsi. Yang namanya distorsi pasti ada masanya. Ada yang sebentar, ada yang lama, ada yang mungkin selamanya. Semuanya tergantung kita mau menyikapinya dengan cara seperti apa. Apakah dengan melampiaskannya di mana pun atau kepada siapapun, banting tulang mencari solusi, diam, memendam, membiarkannya, atau curhat pada Tuhan. Tergantung kita, benar-benar tergantung keputusan kita. Toh ujung-ujungnya efeknya kita yang merasakan. Dan gue jamin sekitar juga akan merasakan efeknya tapi efek dari sekitar bakal balik lagi ke kita. Jadi yaa ujung-ujungnya ke kita.


Berlarut-larut dalam distorsi itu halal. Tapi ingat...........
waktu tidak menunggu kita yang masih bercengkrama dengan distorsi.
kesempatan untuk menikmati hidup semakin berkurang.
orang-orang di sekitar kita akan mencari diri kita.
umur kita di dunia terlalu sayang jika kita habiskan bersama distorsi yang seharusnya kita atasi.
Walaupun tidak dapat disangkal...................................
distorsi benar-benar membuat kita tidak bisa fokus.
distorsi membuat kita tidak bisa berpikir.
distorsi membuat kita lupa akan segalanya.
distorsi membuat kita tidak bisa menentukan akan berbuat apa.

Mau mengatasi distorsi? Silakan... Mau berlarut-larut dalam distorsi? Silakan... Mau menunggu distorsi pergi? Silakan...
Tanya diri sendiri, distorsi ini mau diapakan sesuai dengan keinginan, kebutuhan, dan naluri diri sendiri. Cuma diri sendiri yang tahu bagaimana cara menyelesaikan distorsi dan cuma Tuhan yang tahu tujuan distorsi itu akan membuat kita seperti apa. Secara sadar maupun tidak sadar,  distorsi pasti akan membentuk pribadi kita.

Baiklah, sekian dulu. Bukan bermaksud menggurui yaa, tapi hanya berbagi pandangan dan pikiran.

God bless you all braayy!!
:)

Salam dari makhluk yang juga terserang distorsi,
Maria Paschalia Judith Justiari


Tidak ada komentar:

Posting Komentar