Jumat, 25 Oktober 2013

Judith Mengalami Degradasi Karakter (?)

AKHIRNYA BROH-BRAY GUE BISA NGEBLOG LOH.. A-KHIR-NYA.
#yaudahsihdith
#emangpenting
#itucapslockganyantaibanget

Kali ini broh-bray, gue mau nulis tentang karakter. Oke. Gue emang bukan anak psikologi dan belum pernah baca buku-buku yang berhubungan dengan psikologi atau karakter. Ini sih murni dari pandangan gue pribadi. Jadi kalau mau didebat yaa gue persilakan tapi gue gabisa jawab apa-apa selain berdasarkan pandangan mata gue pribadi.

Ditekankan sekali lagi, tulisan ini ditulis berdasarkan pengamatan dan pengalaman pribadi.

Menurut gue, karakter itu bisa menjadi ciri khas seseorang.
Ada orang yang terlihat cuek bebek naajubileh tapi ternyata pas diajak ngobrol, dia mengerti kita bahkan sedetail mungkin. Ada yang tidak berani berpendapat padahal memilitki pemikiran solutif. Ada orang yang menyampaikan sesuatu yang sederhana dengan berapi-api sehingga makna mendalam tertancap di pikiran para pendengarnya. Ada yang emosinya naik-turun, pas naik bikin orang tersenyum tapi ketika turun bikin repot orang-orang sekitar. Ada yang pasrah ketika mengalami segala sesuatu. Ada yang keras kepala. Ada yang legowo. Dan lain-lain. Dan lain-lain. Dan lain-lain.

Yaaa, menurut gue, karakter itu bisa dilihat bagaimana cara orang tersebut menerima, menyikapi, menyampaikan, dan menyalurkan sesuatu.
Ibarat diagram venn, karakter seseorang itu irisan dari himpunan sifat baik secara umum dan himpunan sifat buruk secara umum. Irisan ini berbeda-beda. Ini yang membuat karakter seseorang itu unik.

Tapi namanya manusia, pasti tidak pernah puas. Selalu menuntut.
"Ya ampun, kok ada sih orang kayak gini?" Begitu bunyi kalimat yang pasti kita semua pernah mendengarnya.
Kalimat di atas bisa berarti sanjungan akibat kekaguman kita pada sifat baiknya tapi bisa berarti cercaan akibat kekesalan kita pada sifat buruknya.

Namanya juga manusia. Masih dalam proses.
Sesungguhnya gue bingung sama kalimat di atas. Terkadang kalimat di atas menjadi pembelaan kita atas sifat buruk yang dimiliki.

Contoh dekat dan realistisnya adalah gue (apalagi mengingat tulisan ini berdasarkan pemikiran, pandangan, dan pengalaman gue).
Kata orang, gue orangnya gampang galau.
Sejujurnya nih, gue pribadi galau kalau lagi sibuk-sibuknya. Kalau gue gabut setengah hidup, gue nggak bakal galau.
Kenapa pas sibuk? Karena pas sibuk, gue butuh tempat cerita sejenak untuk mengambil langkah besar dalam tiap kesibukan gue. Pas gabut mah selow aja.
Nah ketika gue galau, gue ditegur, "Galo banget sih lu, Dith?! Liat nih gue aja yang blablablablablablablablablah *teruscurcolkegalauandia* ga galo."
Oke deh. Terus gue minta maaf, "Maaf yaa, gue belum dewasa buat ngadepin ini semua. Semoga ke depannya gue bisa lebih dewasa lagi."
Terus pas gue ga galau dan lagi selow-selownya malah ditanyain, "Dith, kok lo ga galau?"
Jadi maunya apaan woy? -_-"

Kata orang, gue orangnya panikan.
Mmmmmm oke ini gue akui. Ketika gue mendapat tanggung jawab atau suatu masalah, gue akan panik dan otak gue memikirkan segala peluang kemungkinan yang akan terjadi. Ketika masalah hidup dan tanggung jawab itu makin menekan gue, justru gue bisa jadi makhluk paling selow sedunia karena gue udah memikirkan segala peluang kemungkinan yang akan terjadi.
Contoh nih. Pas mau ngadain misa Rabu Abu, gue panik gitu awalnya padahal h-3 bulan. Mikirin gimana romonya, tempatnya, alat misanya, lagu-lagu koornya, umatnya, dll dsb dkk.. Pas hari-H, di saat yang lain hectic nyiapin misa, gue selow-selow aja mengeksekusi persiapan misa. Geser-geser meja. Nyapu. Ngepel. Konfirmasi kehadiran Romo. Semua check-list.
Tiba-tiba ada masalah pertama. Lampunya gaada tjui, padahal misanya malam. Yang lain panik, gue adem ayem. Terus kreativitas gue memberi suatu solusi, "Cabut lampu kamar kosan aja, cuma dipakai 2 jam kok terus langsung pasang lagi deh." Dan solusi gue dipakai :)
Masalah kedua. Lampunya udah ada. Tiba-tiba di bagian kanan lampunya mati karena sekringnya dimatiin. Jadinya gelap. Ditambah lagi hujan deras. Yang lain panik. Gue cuma jalan santai, ngambil payung, jalan ke Sunken Court, minjem emergency lamp, bawa emergency lamp ke tempat misa, terus jadi terang lagi, masalah selesai :)
Percayalah, gue cuma panik di awal dan kepanikan gue itu memikirkan masalah atau tanggung jawab dari segala sudut kemungkinan sehingga saat pelaksanaan tanggung jawab dan ternyata ada masalah di situ, gue tidak akan panik dan bahkan bisa jadi solusi.
Tapi orang lain cuma lihat gue dari paniknya gue aja di awal, ga mengapresiasi cara gue mengatasi masalah pada saat hari H :)
Gue pernah nih ya ga panik ketika menjalankan suatu tanggung jawab. Terus gue malah dapet kritik keras katanya gue nggak mikirin dan meremehkan tanggung jawab tersebut.
Duh. Manusia. Maunya apa sih? :)

Kata orang, gue orangnya keras kepala.
Ada kalanya gue keras kepala. Ada saatnya gue benar-benar mendengarkan dan mulai menerapkan wejangan/nasihat/saran dari sekitar. Pas gue keras kepala, berarti gue mempertahankan prinsip yang gue pegang dan selama ini ternyata benar atau tidak salah. Kalau gue diam, gue mendengarkan nasihat/wejangan/saran yang disampaikan pada gue lalu pelan-pelan untuk menerapkannya dalam kehidupan karena gue tahu nasihat/wejangan/saran tersebut ada baiknya buat kehidupan gue ke depannya. Sesederhana itu loh. :)

Lihat masalahnya?
Gue mengalami degradasi karakter bray.
Entah kenapa akhir-akhir ini orang melihat gue dari sisi minusnya, dari sifat buruk gue. Sejujurnya, gue merasa jarang dihargai dan sisi positif gue seolah langsung jadi negatif semua karena yang dilihat cuma sisi negatif gue aja. Apa karena sebagai manusia gue terlalu negatif?
Lagipula gue juga menyaring tiap nasihat/wejangan/saran dari sekitar gue kok. Nggak semua bisa dituruti. Gue sedang dalam tahap berkembang, sisi negatif gue pun sedang gue usahakan untuk diminimalisir kok. Makanya gue pasti mengikuti beberapa nasihat/wejangan/saran dari sekitar.
Kalau semua kata-kata orang gue ikutin, terus jati diri gue gimana bray?

Namanya juga manusia. Masih dalam proses.
Iya, gue manusia dan gue berproses untuk jadi lebih baik dengan meminimalisir kekurangan gue sebagai manusia secepatnya.
Wah, ternyata bukan pembelaan melainkan kalimat ini jadi tuntutan untuk diri sendiri agar lebih baik ke depannya.



Lo boleh banget bray nge-judge buku dari sampulnya. Tapi ingat, biar makin mantep nge-judge nya, lo kudu mengenali tuh buku lebih dalam dan ingat juga kalau buku yang lo judge itu hasil keringat beberapa pihak.

Terima kasih bray-broh sudah membaca tulisan ini.

Tuhan memberkati.

Salam dari yang mengalami degradasi karakter,
Maria Paschalia Judith Justiari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar