Tanya: "Apa yang kamu takutkan detik ini juga?"
Jawab: "Saya takut mendengar posisi saya di hidup seseorang digantikan. Takut kalau harus menghadapi kenyataan dengan berkata, 'Dulu saya sama seperti itu. Dulu saya berada di posisi itu. Dulu saya yang paling pertama mendengar cerita dia. Sekarang............' Takut. Sungguh, saya amat sangat takut dengan itu."
Tanya: "Ada lagi yang kamu takutkan?"
Jawab: "Saya takut ketakutan saya itu mengalahkan ketakutan saya tidak mendapatkan ITB."
Tanya: "Tapi ada yang tidak kamu takutkan untuk saat ini?"
Jawab: "Ada. Saya tidak takut disebut gila atau berlebihan karena ketakutan saya yang disebut di atas."
Sungguh takut.
:''''''''''''''''''''''''''''''''''''/
:'''''''''''''''''''''''''''''''''''/
:''''''''''''''''''''''''''''''''''/
Tolong Judith, Tuhan. Tolong Judith...
Sekumpulan cerita yang disaksikan mata, didengarkan telinga, dikecap lidah, disentuh kulit, dihirup hidung, dialami raga, dan dirasakan jiwa. Sekumpulan cerita yang ditulis apa adanya tanpa dibuat-buat oleh penulis. Sekumpulan cerita yang tak bermaksud puitis karena penulis bukan sastrawan. Sekumpulan cerita yang siap sedia dibaca oleh siapapun, kapanpun, dan di manapun.
Kamis, 14 Juli 2011
00.00 = Tepat Hari Kelima
Sekarang gue telah berhasil duduk di kelas 12. Puji Tuhan, dengan kondisi kesehatan yang limpung dan naik turun tangga demi mengejar tugas yang tertinggal, gue masih bisa naik ke kelas 12 dengan nilai yang memuaskan. Benar-benar bersyukur gua sama Tuhan, tanpa Dia mungkin gue nggak bisa mendapatkan kepuasan itu. Terima kasih Tuhan.
Dua hari lagi tepat satu pekan sudah gue menjalani hidup sebagai siswa kelas 12. Tak lain tak bukan, tahun terakhir gue sekolah dengan mengenakan seragam. Ini hari keempat dan...........................hffffftttttttt *menghelanafas
Hari ke-4 ini, gue akhirnya mengalami distorsi, distorsi pertama gue di kelas 12. Dari awal masuk, beberapa teman sekelas gue menyadarkan kelas gue kalau kami-tidak-semujur-tahun-lalu.
Kami sadar. Iya, kami termasuk gue. Gue sadar. Jujur gue khawatir dengan ketidakmujuran ini.
Jam terakhir di hari ketiga (Rabu, 13 Juli 2011), sebagian kecil dari kelas gue mulai goyah. Hari keempat ini, gue yang goyah, yang lain kayaknya engga. Padahal kami telah mendapat motivasi dari Bu Yulia.
Pertama kalinya gue belajar dan mengerjakan soal dengan ngos-ngosan disertai detakan jantung yang sangat cepat. Seolah gua mengerjakan soal sambil berlari. Padahal kenyataannya gue duduk. Otak, tangan, dan mata gue dipaksa untuk bekerja dan berpikir cepat.
Awalnya gue protes. Tapi Nimas ngajak gue belajar berusaha bersyukur atas keadaan itu dan ketidakmujuran yang sama-sama kami alami. Detik itu gue langsung mulai mengucapkan, "Puji Tuhan!" atau "Terima kasih Tuhan!".
Pertama-tama siiih setengah kepaksa, lama-lama gue beneran tulus untuk mengucap syukur. Capek juga kalo ngeluh mulu. Terima kasih, Tuhan!
Saat istirahat kedua, gue belajar cara menggunakan suatu kamera. Mau nggak mau, beberapa teman gue ngeliat. Ada komen yang ngena banget dari seseorang. "Tuh Dith, kurang cinta apa dia ama lo?" Dia ngomong sambil berhahaha-hehehe tapi ngena dan bikin gua mesem-mesem.
Pulang sekolah. Akhirnya hari keempat selesai. Itu pikiran terbodoh yang pernah ada ketika gue mendengar suatu ucapan. Gue memang sengaja memulai obrolan ini agar mendapat motivasi untuk ke depannya. Tak diduga-duga, gue malah mendengar langsung dalam kalimat bertemakan kemujuran kelas gue tahun lalu tidak lagi bersama kelas gue tahun ini, lengkap dengan perbandingannya. Gue cuma mendengar, memberi pembelaan sedikit, lalu diam.
Diam untuk menghalau stress yang muncul.
Diam untuk mensyukuri lagi ketidakmujuran itu.
Diam untuk tidak memikirkan efek terburuk dari ketidakmujuran itu.
Diam untuk meniadakan rasa sakit, kesal, atau bete.
Gue tau betul, obrolan itu maksudnya bercanda dan sharing. Benar-benar 100% bercanda. Gue paham. Sayangnya waktunya nggak tepat buat diri gue yang saat itu baru saja bangkit dari kondisi goyah. Maaf, tapi gue belum bisa sepenuhnya ikhlas kalau mesti dibandingkan.
Pada akhirnya obrolan itu diakhiri dengan diam.
Beberapa menit sebelum gue ngetik ini, gue berada di pojokan kamar. Di belakang pintu, dengan kondisi penuh distorsi, gue merasa takut dan was-was. P1i-ku tepat berada di depan gue. Bolak-balik gue menatap tuh P1i-ku, menanti satu SMS. SMS nutrisi gua maksudnya, SMS lain benar-benar gua abaikan dan cuma dibaca doang terus dilupakan. Tuh SMS nutrisi nggak nongol-nongol pula, padahal gue tunggu dari jam setengah lima bahkan sampai detik ini. Langsung dah terngiang komen orang tadi.
Gue benar-benar nggak bisa ngapa-ngapain. Buku pelajaran terbuka di depan gue. Pinsil ada di tangan kanan gue. Tapi, otak ama hati gua nggak mau kerja. Otak gue tidak mengirimkan efektor ke saraf motorik tangan dan mata gue. Malah mata gue berair. You know lah~~~~
Huam lengkap sudah distorsi hari ini. Goyah, bangkit terus goyah lagi, takut, was-was, dan sadar PR integral belom slesai. Oh Judith, you have to finish your integral in 3 hours. You don't wanna get a 'present' from your teacher, right?
Hfffffftttt.......*sigh
I'll say "Thank God," and then............... (you should do your homework.. you should do your homework.. you should do your hw, Judith!)
*thenIlookatP1i-kuagain *gigitbibir *sigh *dudukdipojokankamarlagi *nyanyi"causeIcantdosomethingtillyoutextme"
Ehm btw, gue nggak wasting time kok selama 7 jam. Beneran nggak buang waktu. Ada kegiatan yang gue lakukan selama 7 jam itu. Yap, menunggu. :-P *damnimissthisemoticonthat'ssentbyhim *imisshimsomuchmuchmuch :''''(
Tepat hari Jumat tanggal 15 Juli 2011 pukul 00.00
Semoga hari ini akan baik-baik saja. Semoga hari ini kami (pengirim SMS nutrisi dan gue) akan baik-baik saja dan semakin baik seterusnya di hari-hari selanjutnya (Amin.!). Semoga hari ini kami (BilyScive dan gue) akan baik-baik saja. Amin.!
God bless you all!
Salam dari yang sedang mengalami distorsi dan tidak mengerjakan integral,
Maria Paschalia Judith Justiari.
Jumat, 08 Juli 2011
Distorsi
Nah loooh, skarang gua balik lagi loohh hayoo hayoo
*teruskenapa
Selama ini gue nggak membuang distorsi gue ke dunia melalui sambungan internet. Sudah tidak lagi. Sudah tidak lagi. Pokoknya sudah tidak lagi.
(paling dikit doang ke twitter. Dikit doang tapi. Beneran dikit kok) -______-"
Ah ya, kenapa gue sebut distorsi.
Mbak Nita, sepupu-gue-yang-dari-jaman-gue-TK-sampai-sebabon-ini-paling-hobi-ngecengin-gue-karena-kenikmatannya, merupakan mahasiswi Sastra Indonesia UPI Bandung.
Pada suatu ketika dia berucap seperti ini pada gue.
"Dith, lo ngga ikut-ikutan galau?"
"Kagak, mbak. Eh tergantung deh,"
"Huh, pantes aja,"
"Emang kenapa?"
"Galau kan DISTORSI yang menyenangkan, Dith,"
di saat itu, yang gue tau cuma TORSI. Catat saudara-saudara! TORSI.
Dengan memutar otak sedikit ke kanan ke kiri dan tetap menjaga keseimbangannya sehingga TORSI sama dengan 0, gue berpikir.
"Ada hubungannya sama benda tegar nggak, Mbak?" *gubrak Akhirnya keluar juga noh pelajaran fisika yang bikin gua uring-uringan untuk melanjutkan ke tahap berikutnya dalam menemukan definisi DISTORSI.
"Auk ah, nggak kenal torsi. Gua kan anak IPS hohoho," dia meledekku seolah tahu aku tak bisa berdamai dengan torsi.
"Distorsi itu semacam gangguan, Dith," lanjutnya lagi.
Catat lagi saudara-saudara, DISTORSI itu semacam gangguan!
Kita masukkan dalam rumus kalimat
Galau = Distorsi yang Menyenangkan
karena Distorsi = Gangguan maka
Galau = Gangguan yang Meyenangkan
buat gue, galau itu sama sekali tidak menyenangkan! Jadi, langsung gue sebut distorsi.
Nggak salah kan? Nggak salah kan?
Pokoknya gue nyebutnya DISTORSI.
Distorsi itu milik semua orang. Semua orang merasakannya tanpa terkecuali, entah tua-muda, umur 16, 17, dan 18, perempuan dan laki-laki, bapak-ibu, kakak-adik, kawan-lawan, kalem-blingsatan. Anak kecil mengalami distorsi yang kasat oleh mata misalnya luka di lututnya karena jatuh saat main layangan. Untuk anak yang mulai beranjak dewasa, distorsi tak lagi ditangkap secara visual namun mental dan emosi. Apalagi kalau bukan masalah?
Jika kita tidak mengalami distorsi, bagaimana bisa mendapatkan suatu kenyamanan dan pelajaran? Distorsi itu sama sekali tidak mengenakkan. Menangis, murung, melamun, kehilangan arah, berasa tak ada nyawa, nyawa, merendahkan diri, berteriak, ya distorsi pasti mengakibatkan itu semua.
Gue sendiri mengalami distorsi. Menurut gue kapasitasnya sama dengan teman-teman gue yang lainnya. Yap, distorsi itu tidak memerlukan ukuran kuantitas melainkan kualitas. Jadi untuk urusan kapasitas, gue rasa semua orang mendapat kapasitas yang sama.
Di sini gue bilang distorsi karena galau buat gue tidak menyenangkan. Apalagi galau artinya kacau. Gue ngga mau bilang gue galau, karena gue bukan tipikal yang memandang diri gue udah kacau banget dan susah dibetulkan.
Secara logika, secara kulitnya saja, mana ada orang yang betah mengalami gangguan. Tidak betah berarti tidak menyenangkan.
Sering banget gue mengalami distorsi. Pelampiasan paling besar pada tisu di rumah, ANW (laptop kesayangan), P1i-ku (ponsel yang paling mengerti diriku), buku distorsi (semacam diary), dan doa. Sisanya cerita ke sana- ke mari tapi nggak pernah selengkap pelampiasan pada yang disebut tadi. Yang menjadi saksi bisunya juga ada - ada pojokan kamar dan genteng.
Bahkan ada posisi favorit dan menurut gue nyaman banget buat melepaskan distorsi. Duduk bersandar, menekuk lutut, mendekap kaki ke badan dengan melingkarkan tangan erat-erat, lalu menyandarkan kepala pada kedua lutut yang berdempet.
Posisi ini diakui adalah posisi spontan secara harafiah dan lahiriah oleh seorang Romo (atau Pastor) di Pondok Retreat Pratista.
"Posisi duduk bersandar dengan lutut ditekuk dan kepala diletakkan di atas lutut adalah posisi selama kita berada di kandungan, di rahim seorang ibu. Posisi seperti itu akan spontan kita lakukan jika kita mencari kenyamanan. Toh terbukti 'kan kita nyaman dengan posisi itu selama berbulan-bulan dalam rahim ibu," begitu tutur beliau.
Saat gue mendengar lontaran kalimat itu, gue masih kelas 9. Kalau kalian ingin membuktikannya, coba saja di rumah. Tenang, adegan ini tidak berbahaya.
Lanjut lagi tentang distorsi. Yang namanya distorsi pasti ada masanya. Ada yang sebentar, ada yang lama, ada yang mungkin selamanya. Semuanya tergantung kita mau menyikapinya dengan cara seperti apa. Apakah dengan melampiaskannya di mana pun atau kepada siapapun, banting tulang mencari solusi, diam, memendam, membiarkannya, atau curhat pada Tuhan. Tergantung kita, benar-benar tergantung keputusan kita. Toh ujung-ujungnya efeknya kita yang merasakan. Dan gue jamin sekitar juga akan merasakan efeknya tapi efek dari sekitar bakal balik lagi ke kita. Jadi yaa ujung-ujungnya ke kita.
Berlarut-larut dalam distorsi itu halal. Tapi ingat...........
waktu tidak menunggu kita yang masih bercengkrama dengan distorsi.
kesempatan untuk menikmati hidup semakin berkurang.
orang-orang di sekitar kita akan mencari diri kita.
umur kita di dunia terlalu sayang jika kita habiskan bersama distorsi yang seharusnya kita atasi.
Walaupun tidak dapat disangkal...................................
distorsi benar-benar membuat kita tidak bisa fokus.
distorsi membuat kita tidak bisa berpikir.
distorsi membuat kita lupa akan segalanya.
distorsi membuat kita tidak bisa menentukan akan berbuat apa.
Mau mengatasi distorsi? Silakan... Mau berlarut-larut dalam distorsi? Silakan... Mau menunggu distorsi pergi? Silakan...
Tanya diri sendiri, distorsi ini mau diapakan sesuai dengan keinginan, kebutuhan, dan naluri diri sendiri. Cuma diri sendiri yang tahu bagaimana cara menyelesaikan distorsi dan cuma Tuhan yang tahu tujuan distorsi itu akan membuat kita seperti apa. Secara sadar maupun tidak sadar, distorsi pasti akan membentuk pribadi kita.
Baiklah, sekian dulu. Bukan bermaksud menggurui yaa, tapi hanya berbagi pandangan dan pikiran.
God bless you all braayy!!
:)
Salam dari makhluk yang juga terserang distorsi,
Maria Paschalia Judith Justiari
Langganan:
Postingan (Atom)