Hola hola!
Hari ini tanggal 8 Juli 2015 (((OH EM JI, AI BARU INGET SEPUPU KESAYANGAN AI ULANG TAON. UNTUNG LIAT POJOK KANAN BAWAH LAPTOP)))
Yha selain hari ini ulang tahun sepupu gue, hari ini juga udah Kerja Praktik (KP) hari ke-13. Dan entah kenapa, gue ingin membagikan dilema gue (ceilah) pada KP hari ke-10.
Jurnal Kerja Praktik ala Judith
- Kerja Praktik Hari ke-10 || Jumat, 3 Juli 2015 -
Hari ini gue memilih untuk pulang cepat. Super cepat, tepatnya (jam 11 siang sudah meninggalkan kantor). Seperti biasanya, gue menaiki jembatan penyeberangan untuk bertemu dengan Koantas Bima nomor 509.
Karena gue pulang super cepat, gue pun tak terkena balada macet pulang kantor ala Jakarta #somuchyeay. Keuntungan lainnya, gue dapet tempat duduk di Koantas Bima #doubleyeay
Agak ngangtuk memang tapi gue memilih untuk tetap terjaga sambil melihat-lihat jalanan (Judith selalu menikmati jalan dan perjalanan). Sampai di perempatan Cilandak, Koantas Bima ini ngetem sejenak. Di sinilah peristiwa dilematis ini muncul.
Seorang bapak-bapak berbaju merah-hitam masuk ke dalam bus kecil ini dan berdiri di dekat pintu. Beliau membawa gitar lalu mengepaskan senar-senar gitarnya. Semuanya masih tampak biasa, seperti musisi jalanan pada umumnya.
Jreng.
Bapak berbaju merah-hitam itu hanya menggenjrengkan satu kunci nada dengan mantap sebagai pembuka. Yah, masih biasa saja. Gue pun dengan sotoy dan kesoktahuan gue bergumam dalam hati,
"Ini paling kata-katanya sama kayak pengamen yang lain: 'Selamat siang Bapak-Ibu sekalian. Di siang yang terik ini izinkan saya yang mengalami kerasnya Jakarta memberika satu-dua lagu untuk menemani Bapak-Ibu. Daripada kami mencopet lebih baik kami mengamen. Seribu-dua ribu dari Bapak-Ibu tidak akan mengurangi kekayaan malahan menjadi sumber rezeki kami. Selamat mendengarkan.' Ya kalo engga pun yaa ga jauh-jauh dari situ lah."
*Dith, kok hapal?*
* #JudithSahabatKopaja #JudithSahabatKoantasBima #JudithSahabatMetroMini *
Ternyata.............
Ternyata.............
Ternyata gue beneran sok tahu.. Bapak-bapak itu membetulkan kacamatanya lalu berkata dengan suara berat, "Selamat siang Bapak, Ibu, Mbak, Mas, Adik, Kakak. Izinkan saya mengamen sebentar. Mohon maaf apabila menganggu Bapak-Ibu sekalian. Kalau tidak berkenan diganggu, tidak didengarkan pun tak apa. Saya juga mohon maaf apabila saya mengamen kurang menyenangkan hati Bapak-Ibu. Kalau boleh cerita, semalam saya tidak tidur. Ada urusan yang membuat saya terjaga. Yak, selamat menikmati lagu dari saya."
Gue terdiam. Walaupun tangan gue memasukkan ponsel ke kantong celana gue (biar aman), mata gue tetap fokus mengarah ke Bapak-bapak yang bernyanyi dan memainkan gitar. Merdu, enak banget didengar. Genjrengan gitar yang mantap dipadukan dengan suara bulat beliau. Bapak itu memainkan tembang lawas yang cukup familiar. Apabila gue perhatikan lekat-lekat, beliau memang terlihat menyembunyikan lelah namun wajahnya tampak menghayati lagu. Berkali-kali beliau bernyanyi memejamkan mata. Bukan, bukan karena beliau kurang tidur. Gue yakin itu karena beliau begitu menikmati dan bersatu dengan lagu yang dimainkan.
Seselesainya dia mengamen, dia mengedarkan kantung penopang penghasilannya. Begitu dia bertatapan dengan gue.....
"Pak, terima kasih yaaa," kata gue sambil tersenyum.
"Terima kasih juga yaa, Mbak," balasnya juga sambil tersenyum.
Lalu dia pun turun dari Koantas Bima.
Dan lalu gue merenung. Sejujurnya gue merasakan bahwa bapak tadi mengajarkan totalitas pada gue. Andaikata gue di posisi dia dengan kondisi kebutuhan ekonomi, beban pikiran yang sampai bikin begadang, lelah fisik, dan lainnya, mungkin gue cuma bisa ngamen setengah hati. Tapi bapak-bapak ini engga begitu. Biarpun kondisinya seperti itu, dia masih memberikan yang maksimal dari dirinya. Bahkan dia sempat minta maaf kalau nanti niatan dirinya, yakni ingin memberikan yang terbaik dari dirinya, tidak tersampaikan kepada kami yang mendengarkannya.
Banyak pandangan dilematis terhadap pengamen.
Ada yang menyebutnya tidak mau berusaha keras,
ada yang menyamakannya dengan peminta-minta,
ada yang berpikir nantinya uang hasil ngamen tersebut disetor ke seorang preman,
ada yang setuju kalau 1000-2000 tidak mengurangi kekayaan,
ada yang berbelas kasih,
ada yang berusaha membayangkan kerasnya hidup pengamen.
Katakanlah gue naif dan sok polos. Buat gue pribadi, ada beberapa pengamen yang tidak berbeda dari musisi papan atas, hanya beda panggung - satu di jalan, satu di panggung gegap gempita. Pengamen-pengamen ini adalah musisi yang menggunakan talentanya semaksimal mungkin, meski hanya di jalanan.
Sama seperti bapak berbaju merah-hitam tadi :'''''''''''''''''''''''')
Bapak-bapak Sumber Dilema sekaligus Sumber Inspirasi :')
Gitar yang menemani si Bapak Sumber Inspirasi
Iya, sampai ditempeli kertas bertuliskan "Ini Bolong Lho"
Terima kasih, Pak, untuk pembelajaran hidupnya. Mari berdoa semoga bapak berbaju merah-hitam tadi semakin diberi rezeki yang halal dari Yang Mahakuasa. Ke depannya, gue berharap bisa lebih bijak lagi ketika berhadapan dengan pengamen dan tentunya gue semakin mampu jadi pribadi yang memiliki totalitas. Semoga.. :')
Terima kasih telah membaca tulisan ini
Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur :D
Semoga Yang Mahakuasa senantiasa memberkati
Salam dari yang dilema dan terinspirasi pada KP hari ke-10,
Maria Paschalia Judith Justiari