Pada gurun, Pengembara tak temukan satupun pohon rindang.
Pada gurun, Pengembara bertengkar dengan dirinya sendiri di tiap langkah sepanjang perjalanannya.
Pada gurun, Pengembara muak terhadap segala dinamika hidupnya.
Pada gurun, Pengembara tak temukan makna bersyukur dan bahagia meski telah bersusah payah menyelaminya.
Pada gurun, Pengembara hanya melihat sisi negatif hidup.
Pada gurun, Pengembara terlalu dehidrasi dan tak sanggup berlari meraih pohon rindangnya.
Gurun itu adalah nama dari momen yang membuat Pengembara menyalahkan dirinya sendiri dan membenci dirinya sendiri.
Gurun itu adalah nama dari momen yang membuat Pengembara menangis menjerit dan makin menjerit karena menyadari yang mendengarkannya hanya dirinya sendiri dan Yang Diterawang.
Gurun itu makin menjadi-jadi ketika ada momen atau perkataan yang semakin membuat Pengembara membenci dirinya sendiri.
Gurun itu gurun.
Walau ada harap bagi Pengembara, bahwasanya gurun dapat menyenangkan. Bahwasanya ada momen kala Pengembara bersyukur ketika dia di gurun.
Ah ya benar.
Mungkin sudah saatnya Pengembara bersimpuh rata dengan pasir di gurun. Mengucap syukur pada Yang Diterawang, menguatkan dirinya sendiri, bahkan kalau perlu menyenangkan dirinya sendiri minimal dengan kebahagiaan semu.
Ah ya, mungkin memang itu saatnya.
Kini Pengembara bersimpuh dalam frustasi sendirian. Teriakannya keras namun gurun itu membuat segalanya hening. Harapnya tak hanya Yang Diterawang yang mendengarkan.
Tolong.
Terima kasih telah membaca tulisan ini
Meskipun Pengembara juga masih sulit melakukannya tapi izinkan Pengembara berucap, jangan lupa bersyukur.
Yang Diterawang senantiasa memberkati.
Salam dari Pengembara yang tengah sendiri di gurun,
Maria Paschalia Judith Justiari