Selasa, 07 Juli 2015

Dilema Kerja Praktik Hari ke-10

Hola hola!

Hari ini tanggal 8 Juli 2015 (((OH EM JI, AI BARU INGET SEPUPU KESAYANGAN AI ULANG TAON. UNTUNG LIAT POJOK KANAN BAWAH LAPTOP)))

Yha selain hari ini ulang tahun sepupu gue, hari ini juga udah Kerja Praktik (KP) hari ke-13. Dan entah kenapa, gue ingin membagikan dilema gue (ceilah) pada KP hari ke-10.

Jurnal Kerja Praktik ala Judith
- Kerja Praktik Hari ke-10  ||  Jumat, 3 Juli 2015 -

Hari ini gue memilih untuk pulang cepat. Super cepat, tepatnya (jam 11 siang sudah meninggalkan kantor). Seperti biasanya, gue menaiki jembatan penyeberangan untuk bertemu dengan Koantas Bima nomor 509.

Karena gue pulang super cepat, gue pun tak terkena balada macet pulang kantor ala Jakarta #somuchyeay. Keuntungan lainnya, gue dapet tempat duduk di Koantas Bima #doubleyeay

Agak ngangtuk memang tapi gue memilih untuk tetap terjaga sambil melihat-lihat jalanan (Judith selalu menikmati jalan dan perjalanan). Sampai di perempatan Cilandak, Koantas Bima ini ngetem sejenak. Di sinilah peristiwa dilematis ini muncul.

Seorang bapak-bapak berbaju merah-hitam masuk ke dalam bus kecil ini dan berdiri di dekat pintu. Beliau membawa gitar lalu mengepaskan senar-senar gitarnya. Semuanya masih tampak biasa, seperti musisi jalanan pada umumnya.

Jreng.
Bapak berbaju merah-hitam itu hanya menggenjrengkan satu kunci nada dengan mantap sebagai pembuka. Yah, masih biasa saja. Gue pun dengan sotoy dan kesoktahuan gue bergumam dalam hati,
"Ini paling kata-katanya sama kayak pengamen yang lain: 'Selamat siang Bapak-Ibu sekalian. Di siang yang terik ini izinkan saya yang mengalami kerasnya Jakarta memberika satu-dua lagu untuk menemani Bapak-Ibu. Daripada kami mencopet lebih baik kami mengamen. Seribu-dua ribu dari Bapak-Ibu tidak akan mengurangi kekayaan malahan menjadi sumber rezeki kami. Selamat mendengarkan.' Ya kalo engga pun yaa ga jauh-jauh dari situ lah."

*Dith, kok hapal?*
* #JudithSahabatKopaja #JudithSahabatKoantasBima #JudithSahabatMetroMini *

Ternyata.............
Ternyata.............
Ternyata gue beneran sok tahu.. Bapak-bapak itu membetulkan kacamatanya lalu berkata dengan suara berat, "Selamat siang Bapak, Ibu, Mbak, Mas, Adik, Kakak. Izinkan saya mengamen sebentar. Mohon maaf apabila menganggu Bapak-Ibu sekalian. Kalau tidak berkenan diganggu, tidak didengarkan pun tak apa. Saya juga mohon maaf apabila saya mengamen kurang menyenangkan hati Bapak-Ibu. Kalau boleh cerita, semalam saya tidak tidur. Ada urusan yang membuat saya terjaga. Yak, selamat menikmati lagu dari saya."

Gue terdiam. Walaupun tangan gue memasukkan ponsel ke kantong celana gue (biar aman), mata gue tetap fokus mengarah ke Bapak-bapak yang bernyanyi dan memainkan gitar. Merdu, enak banget didengar. Genjrengan gitar yang mantap dipadukan dengan suara bulat beliau. Bapak itu memainkan tembang lawas yang cukup familiar. Apabila gue perhatikan lekat-lekat, beliau memang terlihat menyembunyikan lelah namun wajahnya tampak menghayati lagu. Berkali-kali beliau bernyanyi memejamkan mata. Bukan, bukan karena beliau kurang tidur. Gue yakin itu karena beliau begitu menikmati dan bersatu dengan lagu yang dimainkan.

Seselesainya dia mengamen, dia mengedarkan kantung penopang penghasilannya. Begitu dia bertatapan dengan gue.....
"Pak, terima kasih yaaa," kata gue sambil tersenyum.
"Terima kasih juga yaa, Mbak," balasnya juga sambil tersenyum.
Lalu dia pun turun dari Koantas Bima.

Dan lalu gue merenung. Sejujurnya gue merasakan bahwa bapak tadi mengajarkan totalitas pada gue. Andaikata gue di posisi dia dengan kondisi kebutuhan ekonomi, beban pikiran yang sampai bikin begadang, lelah fisik, dan lainnya, mungkin gue cuma bisa ngamen setengah hati. Tapi bapak-bapak ini engga begitu. Biarpun kondisinya seperti itu, dia masih memberikan yang maksimal dari dirinya. Bahkan dia sempat minta maaf kalau nanti niatan dirinya, yakni ingin memberikan yang terbaik dari dirinya, tidak tersampaikan kepada kami yang mendengarkannya.

Banyak pandangan dilematis terhadap pengamen.
Ada yang menyebutnya tidak mau berusaha keras,
ada yang menyamakannya dengan peminta-minta,
ada yang berpikir nantinya uang hasil ngamen tersebut disetor ke seorang preman,
ada yang setuju kalau 1000-2000 tidak mengurangi kekayaan,
ada yang berbelas kasih,
ada yang berusaha membayangkan kerasnya hidup pengamen.

Katakanlah gue naif dan sok polos. Buat gue pribadi, ada beberapa pengamen yang tidak berbeda dari musisi papan atas, hanya beda panggung - satu di jalan, satu di panggung gegap gempita. Pengamen-pengamen ini adalah musisi yang menggunakan talentanya semaksimal mungkin, meski hanya di jalanan.

Sama seperti bapak berbaju merah-hitam tadi :'''''''''''''''''''''''')


Bapak-bapak Sumber Dilema sekaligus Sumber Inspirasi :')



Gitar yang menemani si Bapak Sumber Inspirasi
Iya, sampai ditempeli kertas bertuliskan "Ini Bolong Lho"


Terima kasih, Pak, untuk pembelajaran hidupnya. Mari berdoa semoga bapak berbaju merah-hitam tadi semakin diberi rezeki yang halal dari Yang Mahakuasa. Ke depannya, gue berharap bisa lebih bijak lagi ketika berhadapan dengan pengamen dan tentunya gue semakin mampu jadi pribadi yang memiliki totalitas. Semoga.. :')


Terima kasih telah membaca tulisan ini
Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur :D
Semoga Yang Mahakuasa senantiasa memberkati


Salam dari yang dilema dan terinspirasi pada KP hari ke-10,
Maria Paschalia Judith Justiari

Senin, 06 Juli 2015

Untuk Apa?

Hai!

Jadi begini. Sepengamatanku dengan diriku, entah tampaknya aku melakukan hal-hal yang tersebar. Di sana - di sini, ke sana - ke sini. Seolah tak ada integrasi. Seolah tak ada kaitannya.

Akhir-akhir ini aku berkecimpung dalam energi terbarukan (sebagai topik Kerja Praktik-ku), toleransi beragama, spiritualitas, psikologi, legislatif, pendidikan, Pancasila, masyarakat dan teknologi, politik, sastra, jurnalistik, prestasi, keluarga, moral bangsa, kuliner, masak-memasak, dan hidrologi-meteorologi.

Yah, bisa dilihat beberapa ada yang terkait, ada juga yang tak memiliki benang merah.

Tapi mana ada yang tahu.
Bahwa pada akhirnya yang terlihat tak ada kaitannya sama sekali secara menyeluruh ini ternyata terintegrasi.
Bahwa bisa jadi ada benang merah yang mengikat seluruh hal di atas tanpa terkecuali.

Supaya nantinya aku lebih dekat. Lebih dekat padanya yang membuatku bersemangat menjalani hari-hari.
Ya, 'nya' di sini merajuk pada visi hidupku yang kutujukan bukan hanya untuk diriku sendiri melainkan juga sesamaku.

:)

Terima kasih telah membaca tulisan ini.
Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur yaapps :3
Semoga Yang Mahakuasa selalu memberkati


Salam dari yang suatu saat nanti akan menemukan benang merah,
Maria Paschalia Judith Justiari

Minggu, 05 Juli 2015

Supaya Pengembara Belajar

Badai pasir tidak pernah diharapkan siapapun yang tengah di gurun
Begitu pun Pengembara

Pengembara terus-menerus menatap langit, mengharap belas Yang Diterawang
Sepenelusuran asal-asalan Pengembara, ia menangkap ingin Yang Diterawang
Mungkin Yang Diterawang ingin supaya Pengembara belajar

Belajar bertahan di tengah gurun yang notabene tidak masuk daftar favorit Pengembara.
Belajar mengambil makna hidup di tengah gurun kering menyesakkan tenggorokan yang lebih memilih menegak kesegaran hidup
Belajar bersyukur di tengah gurun yang Pengembara tidak sukai.

Satu hal. Lambat laun Pengembara sadar. Dia masih bisa tersenyum meski senyumnya tipis.
Sebegitu besar cinta Yang Diterawang pada Pengembara hingga Dia memberi kesempatan pada Pengembara untuk menjadi versi terbaiknya meskipun di tengah gurun yang membuatnya menangis sakit.

Bertahan di zona nyaman itu biasa. Bertahan dan mampu memberikan yang terbaik di luar zona nyaman? Mungkin bisa disebut luar biasa :)
Bukankah itu kesempatan indah dari Yang Diterawang untuk mengembangkan pribadi dan hidup?

Iya, Pengembara sesenang itu merasa diberi kesempatan belajar oleh Yang Diterawang.
Senangnya memang sesederhana itu :)



Terima kasih telah membaca tulisan ini.
Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur yaaaa ^v^
Semoga Yang Mahakuasa senantiasa memberkati

Salam dari Pengembara yang belajar hidup pada gurun,
Maria Paschalia Judith Justiari

Kamis, 02 Juli 2015

BOLANG Edisi Mall Kelapa Gading

Halo everibadeeeehhh..

Ini benar-benar tulisan yang terlambat sih gaes hehehe
Mungkin sekitar setahun lalu lebih.

Jadi, pas awal-awal Juni 2014, gue iseng pengen pergi ke Mall Kelapa Gading. Belum pernah sama sekali soalnya, huftyna :(

Nah karena gue nggak mau perjalanan berjudul "Bocah Petualang" gue berakhir menjadi "Bocah Hilang", gue pun meminta Jeanice (usut punya usut salah satu badhaynya KMK ITB 2012). Secara random, gue nge-chat dia dan minta dia jadi tour guide di Mall Kelapa Gading. Sebenarnya cukup beralasan sih. Jeanice 'kan tinggal di Sunter, terus konon katanya dia sering main ke Mall Kelapa Gading. Untunglah dia mengiyakan keinginan random gue tersebut.

Oke. Bermodalkan pengetahuan dari perselancaran di dunia maya dimodifikasi dengan insting bolang gue, gue pun berangkat ke Mall Kelapa Gading dengan kendaraan umum.

Mula-mula gue ke halte Cibubur Junction. Di sana banyak kendaraan umum yang menuju ke berbagai macam kawasan. Berdasarkan hasil penselacaran, disarankan naik Mayasari jurusan Tanjung Priok dari Kampung Rambutan. Tapi ai males banget kalau harus ke Rambutan dulu. Berkat insting bolang yang gue miliki, gue pun memilih naik 56 ke Cawang. Kendaraan bernomor 56 ini berwujud Elf warna merah bata dengan jurusan Cileungsi-UKI.

Sesampainya gue di Cawang, gue menunggu kendaraan apapun yang bertujuan ke Tanjung Priok. Lewatlah suatu bus besar tak ber-AC dan bukan Mayasari tapi tujuannya Tanjung Prioke. Gue langsung nanya keneknya, "Lewat Gading 'kan, Pak?" "Lewat, Neng."
Nthap.
Gue naik dan berdiri dekat jendela biar bisa merasakan sepoi-sepoi angin Jakarta #hasek (alasan sebenarnya sih biar nggak gerah).

Sekitar 30 menit perjalanan, gue pun melihat gedung Mall Artha Gading dan meminta turun dari bus. Senangnya jalan nggak terlalu macet. Di bawah tol Jakarta - Tanjung Priok, gue menyebrang dengan sangat hati-hati. (((((SANGAT HATI-HATI)))))

Menurut hasil penselacaran, gue harus naik angkot nomor 37. Rezeki memang nggak ke mana, angkotnya langsung muncul di hadapan gue. Gue naik dengan hati riang. Oke, lebay.

Hanya 10 menit perjalanan, abang angkotnya sudah berkata, "MKG MKG,". Mendengar informasi dari Bapak Supir Angkot, gue turun dan menyerahkan selembar 2000 rupiah.
Di sinilah konflik terjadi.
"Neng, uangnya kurang 1000 nih,"
"Oh iya, Pak," gue menyahut sambil ngubek-ngubek tas nyari duit seceng. Ternyata si Bapak masih lanjut ngedumel
"Mana ada sih Neng ongkos 2000,"
"Aduh punten, Pak. Maafin saya, Pak. Saya teh bener-bener baru pertama kali ke sini. Saya nggak tahu kalau jarak dekat di sini tuh 3000," kata gue memelas namun jujur. Yha bener, ini 'kan kali pertama gue ke daerah Gading dan sama sekali nggak tahu kalau jarak dekat memakan ongkos 3000 rupiah. Waktu itu di Depok jarak dekatnya masih 2000 rupiah dan ongkos tersebut yang gue jadikan patokan. Maapin Pak, ternyata saya salah :(
Lalu si Bapak supir langsung ngacir setelah gue memberikan 1000 rupiah.

Sesudah konflik perkara 1000 rupiah, gue menyebrang ke Mall Kelapa Gading dan duduk di foodcourt yang dekat Chatime sambil menunggu Jeanice.
Supaya menunggu Jeanice bisa produktif, gue pun selfie di foodcourt ala kadarnya. Begini hasilnya.


Tidak lama kemudian Jeanice datang. Berdua bareng Jeanice, kami menuju XXI yang ada di MKG sambil keliling. Waktu itu kita nonton Maleficent. Terus gue baper. Ada beberapa adegan yang bikin gue nangis. Tapi tahun lalu memang pas itu gue lagi baper-bapernya sih HEHE



Seselesainya nonton, kita lanjut keliling lagi. Jeanice ini baik hati sekali, nggak bohong. Dia benar-benar menjadi tour guide sejati. Bahkan dia menjelaskan tiap-tiap detil dari MKG sampai La Piazza. Sempat juga keluar-masuk beberapa outlet di sana, salah satunya UNIQLO yang pada saat itu lagi sale. Aeh Jeanice sungguh baik hati :') Maafkan aku yang pernah berburuk sangka padamu, Jen. Peyuk Jeanice *HUG*

Overall MKG itu cukup luas. Belum lagi ditambah La Piazza Dalam 1 area besar, gedung MKG dibagi jadi MKG 1, MKG 2, MKG 3, MKG 4, dan MKG 5. Iyaps, kelima MKG itu satu gedung. Enaknya mall besar gini tuh segalanya lengkap. Pilihan makanannya pun beragam. Toko-tokonya juga banyak anekanya. Kalau mau jalan sendiri di sini sih menurut gue tempatnya enjoyable. Nongski bareng temen juga seru. Sama keluarga juga asyik. Berdua doang sama pacar atau teman juga menyenangkan. Terus banyak cafe-cafe kecil gitu yang lucu banget dan bikin penasaran. Waktu itu ku ingin main ke sana cuma lagi nggak nafsu untuk wisata kuliner hehe

Gue pun pas sama keluarga ke MKG, sangat menikmati kulinernya di foodcourt MKG-berapa-gitu-ku lupa (di MKG tuh foodcourt nya nggak cuma 1). Pokoknya desain foodcourt yang ini agak remang-remang terus bertemakan woodies gitu. Keluarga gue ampe kalap di sana hahaha

Sayang waktu itu nggak sempet selfie sama Jeanice. Yaudah Jen, ini foto kita yang lama aja, pas kita masih tepebe unyu gitu. Maafin lupa ngajak elu selfie



Ah ya, gue sempet nyari-nyari Calais di mananya MKG sih. Yaaaa mana tau tetiba di rumah gue kepengen Calais terus ngacir kemari... Yha mana tau hehe.. Well, finally gue tau Calais itu ada di Mall Kelapa Gading 3. Itupun taunya pas main ke MKG untuk kedua kalinya.

Sekitar jam setengah tigaan, gue pamit ke Jeanice. Gue males banget kena macet soalnya. Habis saying goodbye, gue keluar MKG dan entah kenapa ambil angkot merah jurusan Rawamangun. Kalau nggak salah, angkot 04. Gue pun turun di Arion Mall dan duduk di halte nungguin bus. Jujur aja, gue belum punya bayangan mau naik bus apaan. Di tengah ketidakjelasan gue mau naik bus apaan, lewatlah bus Mayasari AC jurusan Depok - Pulo Gadung. Ditambah lagi abangnya teriak, "Depok Depok Depok!"
Gue naik tuh Mayasari. Syukurlah gue dapet tempat duduk dan ber-AC. Ongkosnya 12000 rupiah waktu itu.

Singkat cerita, gue sampai di Depok dan tanpa mampir ke sana-ke sini, gue menuju rumah. Sekian cerita Bolang gue :3

Terima kasih telah membaca tulisan ini.
Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur :)
Semoga Yang Mahakuasa senantiasa memberkati.

Salam dari yang mengaku Bolang Terakreditasi A,
Maria Paschalia Judith Justiari