Cerita di hari lain

Selasa, 30 Juni 2015

Taruhlah Bulan pada Tempatnya

Senin, 29 Juni 2015

Sore ini pukul 15.00, aku meninggalkan meja yang telah menjadi temanku sejak sepekan lalu. Kami berkenalan dengan embel-embel Kerja Praktik. Enam hari sudah meja ini menyaksikan membaca total 3 laporan sambil mencatat ilmu-ilmu baru (biasanya hanya bertahan paling lama 3 jam) lalu bosan dan dilanjutkan main internet lalu pulang.

Meja ini tinggal di Sovereign Plaza lantai 12 di Jalan TB Simatupang. Untuk mempermudah dalam membayangkannya, sering aku bilang, "Di seberang serongnya Citos (Cilandak Town Square)". Biasanya langsung mudah terbayangkan.

Dekat dengan tempat tinggal meja itu ada jembatan penyeberangan. Aku melalui jembatan penyeberangan itu lalu naik Kopaja P20. Tujuanku ke Grand Indonesia. Sekadar informasi, Jalan TB Simatupang ini di Jakarta Selatan sedangkan Grand Indonesia di Jakarta Pusat.

Pejaten kemudian Warung Buncit, masih lancar. Sesampainya di Mampang dan perempatan Kuningan, macetnya terasa. Aku hanya bisa membaca buku dibarengi angin sepoi-sepoi dan berefek ketiduran barang 5 menit.

Untungnya Jalan Rasuna begitu kosong. Di seberang Plaza Festival, aku turun dan ganti kendaraan ke Kopaja 66. Kemudian aku turun di dekat Stasiun Sudirman dan berjalan kaki dari sana ke Grand Indonesia. Pukul 16.42 sampai di Grand Indonesia.

Kali ini bukan tanpa tujuan aku ke sini. Ada tiga sosok sobat dekat yang paling sering bersamaku di Bandung. Sonya, Sudib, dan Seto. Tiga orang yang bisa dibilang cukup mengenal dan memahamiku.

Kami memutuskan makan ramen, menukar Lucky Chance di KFC, ditambah sekadar duduk-duduk di Chatime.

Pulangnya aku sendiri berjalan ke Stasiun Sudirman. Satu langkah dari pintu keluar Menara BCA Grand Indonesia, spontan aku menengok ke atas, mengamati langit. Gelap, cenderung berawan, tak ada bintang, namun ada satu bulan yang bulat dan begitu terang.

Langkah demi langkah aku tapaki. Entah di langkah ke berapa, aku berhenti dan lagi-lagi menengok ke langit. Bulan itu masih bersamaku, mengikutiku meski kadang harus bersembunyi di balik gedung yang membumbung tinggi.

Aku naik Commuter Line jurusan Bogor dan turun di Stasiun UI. Keluar dari Stasiun UI, lagi-lagi bulan itu masih ada. Tubuhku di dalam angkot pun, bulan itu tidak absen sedetik pun.

Ketika berjalan kaki menuju rumahku pun, bulan itu masih di atas langit, jauh di atas serong kepalaku. Bulan dan aku sama-sama diam, tak berbicara apapun. Memang rasanya tidak sopan kalau tak menggubris sosok yang menemani perjalanan ini. Tapi rasanya aku sudah tahu pesan bulan itu. Bulan itu pun pasti sadar kalau aku memandanginya berkali-kali.

Langit, Langit selalu menjadi favoritku. Mungkin ini salah satu alasan Yang Mahakuasa menjadikanku mahasiswi meteorologi. Ya, mungkin saja.

Langit malam ini memang tak berbintang, berawan pula. Tapi seakan bulan ingin memamerkan keindahan miliknya dan milik langit. Bulan yang tegap sendiri berpendar bersanding dengan langit gelap pun tak kusangkal cantiknya. Seolah apa yang disebut terang telah disabotase dan hanya menjadi satu-satunya perhiasan bagi langit. Ya, bulan begitu cantik.

Aku paham. Tanpa bintang pun dan temaram cahaya kota, langit tetap cantik, tetap indah. Langit tetap hidup.

Satu lagi pesan yang terbersit di telingaku dari bulan. Bulan itu mungkin hanya suatu lensa. Tanpa ada logika jelas, lensa itu terhubung pada bentangan layar di benak seseorang. Seseorang yang begitu ingin menemaniku pulang, memastikan aku selamat sampai di rumah. Mungkin juga ada, meski begitu kecil tak kasat mata, harapnya pada suatu hari nanti, dia dan aku bertemu di rumah, berpelukan erat satu sama lain sambil membagi penat dan cerita selama satu hari. Kalau begitu, terima kasih pada seseorang itu yang telah mengirimkan bulan.

Ah, aku mengambil dan menyimpan pesan pertama saja. Pesan barusan tampak sebatas khayalan. Karena aku begitu tulus ikhlas dalam paham dan mengerti, bulan pada langit sungguh begitu serasi untuk menghabiskan malam bersama, tak ada bintang pun tak apa.

Kakiku pun memasuki rumah, menyapa hangat Bapak, Ibu, dan Joe. Dari jendela, aku mengintip. Dan bulan itu masih ada :)

*****

Terima kasih telah membaca tulisan ini.
Semangat selalu dan jangan lupa bersyukur :)

Semoga Yang Mahakuasa senantiasa memberkati


Salam dari yang melakukan pemanasan bersama bulan untuk menulis lagi,
Maria Paschalia Judith Justiari 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar